Monday, September 3, 2012

Membangun Karakter Bangsa

Oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab

Jakarta - Karakter berbeda dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat sulit diubah karena ia dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat psikologis. Sedang karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, dia dinamai 'rusyd'. Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa.

Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya, bisa saja seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya sangat terpuji. "Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati".(Hadis)

Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang. Dalam konteks membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus disepakati dan dihayati bersama.

Disepakati karena kalau setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seseorang perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolak ukur hubungan antar masyarakat. Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang bersangkutan sendiri. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin bukan lagi manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita. Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan perorang secara individu tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat akan secara kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nilai, dan tolak ukur moralnya dan hasil pilihan itulah yang dinamai jati diri bangsa.Dengan demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang terbentuk melalui proses yang panjang. Memang rumusannya dicetuskan oleh kearifan the founding fathers bangsa, tetapi itu mereka gali dari masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah Pancasila.

Nilai-nilai yang disepakati itu harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini. Hanya dengan penghayatan karakter dapat terbentuk. Sebaliknya,nilai-nilai yang dihayati seseorang atau satu bangsa dapat dikukur melalui karakternya. Perubahan yang terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut atas dasar kesadaran mereka,dan bisa juga karena terperdaya atau lupa oleh satu dan lain sebab. Begitu pula, bila terdapat hal-hal dalam diri anggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Di sini terlihat betapa pentingnya melakukan apa yang diistilahkan dengan "Character and Nation Building".

Masyarakat melakukan hal tersebut melalui pendidikan. Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan. Karena itu pula, ukuran keberhasilan lembaga pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi, bukan saja melalui kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual sivitas akademikanya. Kecerdasan intelektual jika tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia dan kemanusiaan seluruhnya akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya, jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri masyarakat, bahkan kemanusiaan seluruhnya.

Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota masyarakatnya, karena masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup di satu tempat dengan nilai-nila yang merekatkan mereka. Setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakat yang membentuk budaya dan nilai-nilainya yang lahir dari pilihan dan kesepakatan mereka.

Membentuk karakter individu bermula dari pemahaman tentang diri sebagai manusia,potensi postif dan negatifnya, serta tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tentu saja pemahaman tentang hal-hal tersebut harus bersumber dari ajaran agama (Tuhan Yang Maha Esa).

Untuk mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan lingkungan yang kondusif, pelatihan dan pembiasaan, persepsi terhadap pengalaman hidup, dan lain-lain. Di sisi lain karakter yang baik harus terus diasah dan diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama, penganugerahan hidayah Tuhan tidak terbatas sebagaimana tidak bertepinya samudra ilmu, "Tidak menambah hidayahnya bagi orang yang telah memperolah hidayah", dan Tuhan pun memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon tambahan pengetahuan. Praktik ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu dari aneka pengaruh negatif yang bersumber dari dalam diri manusia dan lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik, yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk meneladani sifat-ifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karenanya ibadah harus terus berlanjut hingga akhir hayat, dan ini berarti pembentukan karakter adalah sebuah proses tanpa henti.

Kalau meruju pada ajaran agama dan keberhasilan para nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekaian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan mereka. Para nabi dan penganjur kebaikan di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang baik dan buruk, mereka justru lebih banyak olah jiwa dan pembiasaan, dengan aneka pengamalan yang kalau perlu pada mulanya dibuat-buat, bukan oleh dorongan kemunafikan tetapi agar menjadi kebiasaan dan watak.Mereka juga mengemukakan aneka pengalaman sejarah masyarakat dan tokoh-tokoh masa lampau. Di samping itu, mereka berusaha sekuat kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negatif lingkungan, karena melalui lingkungan watak dapat berubah menjadi positif atau negatif. Hanya saja, perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif lingkungan lebih mudah diserap daripada pengaruh positifnya. Dan, pendekatan yang mereka lakukan guna menciptakan watak masyarakat adalah pendekatan buttom-up, yang mereka tularkan kepada keluarga, lalu sahabat dan handai tolan dalam lingkungan kecil, hingga seluruh masyarakat. Amin. (rmd/rmd)  

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.