Thursday, September 13, 2012

Minyak Cengkeh, Obat Antimalaria Baru?

dok: UGM

JAKARTA - Angka kematian akibat penyakit malaria terbilang masih tinggi, meski berbagai upaya penanggulangannya telah dilakukan. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 menunjukkan, tiap tahun ada 81 juta kasus positif malaria dengan 117.704 kematian.

Berbagai penelitian untuk memutakhirkan metode pengobatan malaria juga gencar dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut terutama difokuskan untuk mengatasi kendala dalam pengobatan malaria, yakni timbulnya vektor malaria (nyamuk Anopheles) yang resisten terhadap insektisida dan parasit (Plasmodium) yang resisten terhadap antimalaria komersial yang tersedia.

Dhina Fitriastuti, Imelda Octa Tampubolon dan Putri Ernia Wati juga terlibat dalam penelitian-penelitian seputar malaria tersebut. Menurut ketiga mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ini, di beberapa negara ada laporan bahwa Plasmodium (khususnya P.falciparum) mengalami resistensi terhadap klorokuin, antimalaria komersial yang dapat diperoleh di pasaran dengan mudah.

Tidak tinggal diam, Dhina dkk pun meneliti dan mengembangkan antimalaria dan uji antimalaria dari minyak daun cengkeh. Pemilihan minyak daun cengkeh tidak asal comot.

"Salah satu senyawa antimalaria baru yang dapat disintesis adalah (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1,10-fenantrolinium bromida. Senyawa ini dapat disintesis dari minyak daun cengkeh," kata Dhina, seperti dinukil dari keterangan tertulis UGM kepada Okezone, Rabu (1/8/2012).

Dhina bertutur, komponen utama dalam minyak cengkeh adalah eugenol. Zat ini dapat diubah menjadi senyawa 3,4-dimetoksi benzaldehida (veratraldehida) melalui proses isomerisasi, oksidasi dan metilasi. Tim kecil ini memiliki hipotesis, zat tertentu dalam kandungan utama minyak cengkeh itu mampu menjadi zat antimalaria.

Untuk mendapatkan zat dugaan antimalaria itu, veratraldehida perlu diubah menjadi veratril alkohol dengan cara digerus dalam mortar dan pestle menggunakan reduktor NaBH4. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia, FMIPA UGM. Kemudian, setelah proses sintesis senyawa yang diduga memiliki antivitas sebagai antimalaria berhasil, Dhina dan timnya melakukan uji aktivitas untuk membuktikan dugaan tersebut.

Uji aktivitas ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran (FK) UGM dengan menggunakan metode uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Kemampuan senyawa antimalaria diperlihatkan dari nilai IC50. Ia menunjukkan konsentrasi yang dibutuhkan senyawa untuk menghambat 50 persen pertumbuhan sel. Menurut Dhina, semakin kecil nilai IC50, maka aktivitas senyawa tersebut sebagai antimalaria akan semakin baik.

"Senyawa (1)-N-(3,4-dimetoksibenzil)-1, 10-fenantrolinium bromida memiliki nilai IC50 yang lebih kecil dari klorokuin. Ini artinya senyawa hasil sintesis memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik daripada klorokuin," paparnya.

Penelitian ketiganya mengantarkan mereka menjadi juara satu pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-25 untuk kategori poster. Dalam helatan ilmiah tahunan yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pertengahan Juli lalu, Dhina dkk turun dalam kategori Program Kreativitas Mahasiswa-Penelitian (PKM-P).

Dhina mengaku, penemuan mereka memang masih berupa awalan dari proses pembuatan obat malaria dan masih memerlukan uji klinik lebih lanjut meliputi uji in vivo, uji mekanisme aksi dan toksisitas. "Perlu ada kerjasama interdisipliner ilmu, yaitu dengan pihak kedokteran dalam uji lanjutan dan pihak farmasi dalam pembentukan sediaan obat," imbuhnya. (rfa)

Sumber

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.