TB Paru lebih dikenal oleh orang awam sebagai flek paru.
Entah dari mana mereka ketahui. Mungkin dokter yang mereka datangi berkata bercak-bercak pada Foto Thorax ( Jantung dan Paru-paru ) dikatakan istilahnya sebagai Flek paru. Istilah ini lebih lunak dari pada kalau dikatakan “anda menderita TB paru”.
Pagi ini salah satu dari pasien yang datang berobat kepada saya ada yang menderita TB paru.
Ny. E, 26 tahun, mempunyai 3 anak yang masih kecil, sudah pisah dengan suaminya. Keluhannya: batuk sejak 2 minggu yang lalu. Suaminya mengatakan ingin merantau ke Sumatra sejak 2 tahun yang lalu. Sejak itu suaminya jangankan mengirim uang untuk keluarganya, memberi kabar dimana ia berada dan bekerja sebagai apapun ia tidak pernah. Cerai tidak, kumpulpun tidak. Ayah mertuanya menyumpahi sang menantu yang tidak bertanggung jawab ini. Istri dan 3 anaknya ditinggalkan begitu saja.
Ny. E diantar oleh ayahnya Pak K, 45 tahun, karyawan sebuah toko.
Mereka membawa sebuah Foto Thorax Ny. E dan hasil pemeriksaan darah.
Kesimpulan dari Foto Thorax yang dibuat oleh seorang Radiolog, menunjukan adanya TB paru .
NY. E berpenampilan kurus. TB: 150 cm dan BB hanya 32 Kg ( normal 45 - 50 Kg ). Wajah pucat ( Hb: 12,2 ). Kalau bicara batuk-batuk.
Pada pemeriksaan auskultasi Paru; terdengar bunyi ronchi basah pada apex kedua paru.
Ny. E sebenarnya sudah berobat pada seorang Dr. Ahli Penyakit dalam. Setelah obatnya habis, ia tidak melanjutkan berobat kepada beliau tetapi datang berobat kepada saya.
Keluhan NY. E kurang selera makan, badan lemes, cepat lelah da sering batuk.
Saya memberikan advis untuk makan tinggi Protein hewani atau nabati untuk rekoveri kesehatan Paru-parunya. Saya memberikan resep kombinasi obat anti TB generic selama 10 hari, agar harga obat masih terjangkau. Setelah obat habis agar kontrole ulang.
Setelah mereka meninggalkan Ruang Periksa, saya membatin “ Suaminya tidak mau tahu lagi keadaan isteri dan ke 3 anaknya lagi. Entah masih hidup atau tidak, tidak ada yang tahu. Hidup dengan bersandar kepada penghasilan ayahnya yang tidak memadai, bagaimana Ny. E dapat cepat sembuh dari penyakitnya. Celakanya lagi Ny. E menjadi sumber penularan penyakit TB bagi ke 3 anaknya dan ke 2 orang tuanya di sebuah rumah sederhana. Sunguh suatu keadaan yang tragis. Bagaimana penyakit TB nya cepat sembuh? Dan bagaimana pula mau mengobati anggota keluarganya yang lain kalau daya belinya tidak ada ? Pantaslah kalau Ny. E berlinang air mata saat datang berobat.
Kasus serupa ada banyak terdapat pada keluarga-keluarga pasien yang lain dengan penyakit yang sama. Tidak heran sulit memberantas penyakit TB di negara kita.
Kalau cukup mendapat obat dari sarana kesehatan dengan gratispun belum dapat menjamin sembuh dari penyakitnya kalau gizinya tidak pernah baik. Seharusnya pasien demikian mendapat gizi yang TKTP ( Tinggi Kalori dan Tinggi Protein). Gizi demikian mesti dibeli. Bagaimana mau dibeli kalau daya belinya rendah atau tidak ada?”
Kepala saya mendadak menjadi pusing, memikirkan kesehatan pasien demikian.-
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.