Saturday, December 5, 2009

Pe lak pwe cap



Suatu hari, medio April 2004, datang berobat seorang Ibu A ( 60 th ) yang diantar putrinya, B  ( sekitar 30 th ). Mereka adalah orang Tionghoa.  Ibunya mengeluh sakit kepala dan ada sedikit Flu sejak 5 hari yang lalu dan sudah minum tablet anti flu yang dijual bebas. Meskipun merasa Ibu A sudah obat tetapi keluhannya  masih belum berkurang. Oleh karena itu ia minta diantar oleh putrinya untuk berobat kepada dokter.

Seperti biasa saya setelah melakukan anamnesa, mengukur tensi darah dan melakukan pemeriksaan fisik. Tensi yang terukur adalah 160/80 mmHg. 

Selesai memeriksa pasien, saya ditanya oleh B, “ Berapa tekanan darah Ibu saya, dok?”

Karena saya anggap mereka orang Tionghoa, saya jawab dengan istilah yang umum dipakai “Pe lak  pwe cap.” Maksudnya Cepe lak cap ( 160 ) dan pwe cap ( 80 ). Saya merasa yakin bahwa ia akan mengerti artinya.

Ketika saya duduk untuk menulis resep, B bertanya lagi “ Berapa tekanan darah Ibu saya, dok?”

Saya jawab dengan kalimat yang sama  “Pe lak pwe cap.”

Selesai menulis resep, B bertanya lagi “ Berapa tekanan darah ibu saya, dok.”

Merasa sudah menjawab sebanyak 2 kali, saya merasa heran mengapa ia masih bertanya lagi.

Saya jawab dengan jawaban yang sama , “Pe lak pwe cap” juga, dan saya balik bertanya kepada B, mengapa anda selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama padahal saya sudah menjawab setiap pertanyaannya.

Ia menjawab dengan nada yang memelas,  “ Dok, saya tidak mengerti apa itu artinya Pe lak pwe cap.”

Glek saya kaget, masa sih orang Tionghoa tidak mengerti kalimat yang saya katakan yaitu “ Pe lak pwe cap .”

Setelah hilang kagetnya, saya berkata lagi “ Maaf. Maksud saya tekanan darah ibu anda adalah Seratus enam puluh dan delapan puluh.” ( Sistolik 160 dan Diastolik 80 mmHg ).

Wajah B cerah setelah saya menjawab dengan kalimat yang ia mengerti.

Anda boleh tidak percaya, tetapi ini kisah nyata yang saya alami dalam praktik saya.

Demikian pula ketika kami sekeluarga melancong ke Singapore beberapa tahun yang lalu faktor bahasa juga masih merupakan sedikit hambatan, karena saya tidak fasih berbahasa Mandarin yang umum dipakai di negara tetangga kita itu.

Bila seorang roomboy bertanya  “Ni haw ma?” ( apa kabar )

Saya menjawab singkat saja “Ni haw.” ( baik ).

Bila ia bertanya lagi dalam bahasa Mandarin, saya menjawab dalam bahasa Inggris saja, karena  hanya bahasa itu yang lebih banyak saya kuasai. Aneh juga kalau orang Tionghoa tidak mengerti bahasa Mandarin.

Kalau ditanya mengapa? Jawabnya “Wo pu ce taw” ( saya tidak tahu ) saja. Ceritanya panjang sejak tahun 1965 Pemerintah melarang yang berbau mandarin.

Bila saat ini  kondisi di negara RI sudah memungkinkan  pemakaian bahasa Mandarin maka sudah saatnya belajar bahasa tsb untuk pemakaianan sehari-hari dengan orang yang kita anggap mengerti bahasa tsb juga.

Pada akhir cerita ini saya ingin mengucapkan Cau-an ( selamat pagi ) dan Sie-sie ( terima  kasih ).-

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.