Lambang Double happiness
====
Tadi pagi, datang berobat Pak Heru ( bukan nama sebenarnya ), 51 tahun. Pak Heru pasien saya sejak bertahun-tahun sehingga sudah akrab.
Pak Heru menderita Flu. Setelah diberi resep, Pak Heru seperti biasa bertanya lain-lain hal.
Ada satu pertanyaan yang menggelitik hati saya.
Pertanyaan Pak Heru iu adalah “Dok, apakah Dokter sudah merasa bahagia?”
Langsung saya jawab “Sudah”
Pak Heru dengan serius mengajukan pertanyaan berikutnya ( sepertinya saya jadi terdakwa dalam persidangan ), “Bisa dijelaskan, Dok.”
Saya menjawab dengan serius juga
“ Pak, Heru, Bahagia itu tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dirasakan. Bahagia itu tidak ada di luar tubuh kita. Bahagia itu ada dalam hati kita. Bahagia adalah suatu perasaan. Perasaan hati yang hanya dapat dirasakan oleh setiap orang. Sama seperti Marah. Marah tidak dapat dilihat, tetapi akibat marah dapat kita lihat misalnya orang berteriak-teriak, memaki-maki orang lain, membanting benda yang dipegangnya dll.
Akibat Bahagia juga dapat dilihat misalnya wajah yang cerah, keep smiling, enak diajak bicara, berkarya dengan baik ( sesuai dengan talenta yang dimiliknya ). Tidak mudah tersinggung, tidak egois dll.
Itulah sedikit penjelasannya tentang makna Bahagia.”
“O..gitu ya ,Dok.”
Saya melihat masih ada rasa penasaran di wajah Pak Heru, lalu saya yang bertanya kepadanya “Ada pertanyaan lain, Pak?”
Pak Heru terpancing oleh pertanyaan saya dan langsung mengajukan pertanyaan lagi, “Dok, bagaimana kita bisa merasakan kebahagian seperti yang Dokter jelaskan tadi.”
Saya bertanya “Benarkah Pak Heru ingin tahu?”
Saya melihat kepala Pak Heru mengangguk-angguk, tanda membenarkan.
Saya menjawab dengan lebih santai dan teringat akan kalimat bijaksana yang pernah saya baca dan setiap hari saya lakukan dalam praktik sehari-hari:
Ingin Bahagia?
Untuk sehari, pergilah mancing.
Untuk sebulan, menikahlah.
Untuk setahun, warislah harta.
Untuk selamanya, tolonglah orang lain.
Saya berkata lagi “Pak Heru, bila ingin bahagia untuk selamanya, lakukanlah yang terakhir tadi. Saya ingin yang terakhir itu, karena itulah saya berusaha banyak menolong orang lain bukan sekedar dalam praktik dokter saja tetapi juga dalam hal lain.”
Terdengar suara Pak Heru yang sayup-sayup sampai, nyaris tidak terdengar oleh saya, “Luar biasa…...”
Saya tidak mengerti arti kata luar biasa tadi, tetapi saya melihat wajah Pak Heru lebih cerah. Luar biasa dampak ucapan saya tadi.
Lama Pak Heru memandang, pigura foto-foto kami sekeluarga, foto wisuda putra/i kami, Surat Tanda Registrasi Dokter dan Surat Ijin Praktek Dokter milik saya yang terpasang di tembok di belakang tempat duduk saya.
Pak Heru berkomentar “Luar biasa. Putra/i Dokter sudah selesai kuliahnya. Isteri Dokter juga seorang Dokter. Saya percaya kalau Dokter merasa bahagia.”
Saya berkata merendah “Saya bersyukur bila Tuhan sudah memberkati saya dan keluarga saya, Pak. Amin. Kalau ditelusuri kehidupan pribadi saya, saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Sekolah sudah, jadi Dokter sudah, bekerja sebagai PNS sampai pensiun sudah, menikah sudah, punya anak sudah, menikahkan anak sudah. Saat ini saya tergolong dalam daftar tunggu ( waiting list ). Menunggu jemputan oleh Tuhan. Saya tidak tahu kapan waktu itu. Besok, bulan depan, tahun depan, 10 tahun lagi. Saya tidak tahu rencana Tuhan. Oleh karena itu saya berusaha agar dapat menolong orang lain, seperti jawaban atas pertanyaan Pak Heru tadi. Mau jugakah Pak, Heru berbuat yang sama seperti saya?”
Pak Heru menjawab tegas “Mau, Dok”.
Pak Heru meninggalkan tempat praktik saya dengan bersemangat dan wajahnya cerah, secerah cuaca kota Cirebon pagi itu.
Pesan moralnya:
1. Rasa bahagia ada dalam hati kita masing-masing.
2. Kalau mudah menolong orang lain, kenapa harus dipersulit?
3. Kita menuai apa yang telah kita tanam.
====
Tadi pagi, datang berobat Pak Heru ( bukan nama sebenarnya ), 51 tahun. Pak Heru pasien saya sejak bertahun-tahun sehingga sudah akrab.
Pak Heru menderita Flu. Setelah diberi resep, Pak Heru seperti biasa bertanya lain-lain hal.
Ada satu pertanyaan yang menggelitik hati saya.
Pertanyaan Pak Heru iu adalah “Dok, apakah Dokter sudah merasa bahagia?”
Langsung saya jawab “Sudah”
Pak Heru dengan serius mengajukan pertanyaan berikutnya ( sepertinya saya jadi terdakwa dalam persidangan ), “Bisa dijelaskan, Dok.”
Saya menjawab dengan serius juga
“ Pak, Heru, Bahagia itu tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dirasakan. Bahagia itu tidak ada di luar tubuh kita. Bahagia itu ada dalam hati kita. Bahagia adalah suatu perasaan. Perasaan hati yang hanya dapat dirasakan oleh setiap orang. Sama seperti Marah. Marah tidak dapat dilihat, tetapi akibat marah dapat kita lihat misalnya orang berteriak-teriak, memaki-maki orang lain, membanting benda yang dipegangnya dll.
Akibat Bahagia juga dapat dilihat misalnya wajah yang cerah, keep smiling, enak diajak bicara, berkarya dengan baik ( sesuai dengan talenta yang dimiliknya ). Tidak mudah tersinggung, tidak egois dll.
Itulah sedikit penjelasannya tentang makna Bahagia.”
“O..gitu ya ,Dok.”
Saya melihat masih ada rasa penasaran di wajah Pak Heru, lalu saya yang bertanya kepadanya “Ada pertanyaan lain, Pak?”
Pak Heru terpancing oleh pertanyaan saya dan langsung mengajukan pertanyaan lagi, “Dok, bagaimana kita bisa merasakan kebahagian seperti yang Dokter jelaskan tadi.”
Saya bertanya “Benarkah Pak Heru ingin tahu?”
Saya melihat kepala Pak Heru mengangguk-angguk, tanda membenarkan.
Saya menjawab dengan lebih santai dan teringat akan kalimat bijaksana yang pernah saya baca dan setiap hari saya lakukan dalam praktik sehari-hari:
Ingin Bahagia?
Untuk sehari, pergilah mancing.
Untuk sebulan, menikahlah.
Untuk setahun, warislah harta.
Untuk selamanya, tolonglah orang lain.
Saya berkata lagi “Pak Heru, bila ingin bahagia untuk selamanya, lakukanlah yang terakhir tadi. Saya ingin yang terakhir itu, karena itulah saya berusaha banyak menolong orang lain bukan sekedar dalam praktik dokter saja tetapi juga dalam hal lain.”
Terdengar suara Pak Heru yang sayup-sayup sampai, nyaris tidak terdengar oleh saya, “Luar biasa…...”
Saya tidak mengerti arti kata luar biasa tadi, tetapi saya melihat wajah Pak Heru lebih cerah. Luar biasa dampak ucapan saya tadi.
Lama Pak Heru memandang, pigura foto-foto kami sekeluarga, foto wisuda putra/i kami, Surat Tanda Registrasi Dokter dan Surat Ijin Praktek Dokter milik saya yang terpasang di tembok di belakang tempat duduk saya.
Pak Heru berkomentar “Luar biasa. Putra/i Dokter sudah selesai kuliahnya. Isteri Dokter juga seorang Dokter. Saya percaya kalau Dokter merasa bahagia.”
Saya berkata merendah “Saya bersyukur bila Tuhan sudah memberkati saya dan keluarga saya, Pak. Amin. Kalau ditelusuri kehidupan pribadi saya, saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Sekolah sudah, jadi Dokter sudah, bekerja sebagai PNS sampai pensiun sudah, menikah sudah, punya anak sudah, menikahkan anak sudah. Saat ini saya tergolong dalam daftar tunggu ( waiting list ). Menunggu jemputan oleh Tuhan. Saya tidak tahu kapan waktu itu. Besok, bulan depan, tahun depan, 10 tahun lagi. Saya tidak tahu rencana Tuhan. Oleh karena itu saya berusaha agar dapat menolong orang lain, seperti jawaban atas pertanyaan Pak Heru tadi. Mau jugakah Pak, Heru berbuat yang sama seperti saya?”
Pak Heru menjawab tegas “Mau, Dok”.
Pak Heru meninggalkan tempat praktik saya dengan bersemangat dan wajahnya cerah, secerah cuaca kota Cirebon pagi itu.
Pesan moralnya:
1. Rasa bahagia ada dalam hati kita masing-masing.
2. Kalau mudah menolong orang lain, kenapa harus dipersulit?
3. Kita menuai apa yang telah kita tanam.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.