Suatu pagi datang ke tempat praktik saya, Pak C, 68 th.
Pak C sering mengikuti kebaktian pagi di Gereja kami. Beberapa kenalan saya mengatakan bahwa Pak C ketika muda tergolong orang yang mapan. Di usia lanjut hidupnya susah.
Pak C datang minta bantuan saya untuk mendapatkan pekerjaan dan sebuah kamar untuk tinggalnya.
“Saya dengar, Dokter mempunyai sebuah Apotik. Ijinkanlah aya bekerja sebagai pembungkus puyer. Saya mau, Dok.” Ia memohon kepada saya.
Kalau saya punya usaha lain seperti Apotik. Amin.
Sayangnya saya tidak mempunyainya.
Saya menjawab “Pak C, Apotik itu bukan milik kami. Saya tidak ada usaha lain.”
Saya melanjutkan “Kalau minta pekerjaan, saya tidak dapat memberikan. Kalau bantuan dalam bentuk lain, misalnya minta berobat gratis atau sumbangan, saya dapat berikan.”
Pak C menolak uluran tangan saya.
Pak C berkisah.
Di usia senja, ia tinggal di kota kami dengan hidup menyewa sebuah tempat sewaan sangat sederhana. Pal C hidup sendirian. Isterinya sudah almarhumah.10 putra/inya tinggal di kota lain.
Uang yang diterima dari salah satu putranya sebesar Rp. 200.000,- ( semula Rp. 300.000,- ). Dana sebesar itu tidak cukup baginya untuk bertahan hidup untuk biaya makan, sewa kamar dan keperluan pribadi. Dari putra/i lainnya, ia tidak menerimanya.
Sudah 3 minggu kami tidak melihat Pak C mengikuti kebaktian pagi di Gereja kami.
Saya pikir mungkin Pak C menengok putra/inya. Ternyata oleh salah satu putranya yang sudah berkeluarga dan tinggal di daerah Jakarta Selatan, Pak C diminta tinggal bersama.
Selama 3 minggu tinggal d rumah putranya, Pak C merasa tidak betah. Makan minum, tempat tinggal ada, tetapi Pak C merasa kesepian.
Di Jakarta Selatan, Pak C hidup terasing, tidak mempunyai teman untuk sekedar ngobrol dan bergaul. Ia ingin kembali ke kota Cirebon dimana di usia muda ia hidup cukup mapan dan masih mempunyai teman / kenalan.
Saya termenung. Pak C mempunyai 10 putra/i.
Salah seorang putranya memberikan Rp. 200.000,-/bulan. Jadi seandainya rata-rata memberi jumlah yang sama, maka minimal Pak C punya Rp. 2 juta/bulan, untuk sewa kamar, makan-minum dll keperluan pribadi.
Kenyataannya: dari 10 putra/i, hanya 1 putra yang mau memberi bantuan dana kepada ayahnya di usia lanjutnya. Seolah mereka tidak menyadari bahwa dulu ketika mereka kecil, telah dirawat, dipelihara, dibesarkan dan dinikahkan oleh orang tuanya. Setelah berumah tangga, masing-masing tidak mau merawat / mau mengerti keinginan orang tuanya.
Mereka tidak mengerti bahwa orang yang sudah lanjut usia sulit beradaptasi dengan tempat tinggal yang baru. Lansia lebih suka tinggal di kota asalnya, meskipun hidup seadanya, tetapi punya banyak teman. Ia bisa happy dengan cara hidupnya. Rasa bahagia tidak dapat diberikan oleh orang lain. Rasa bahagia timbul dari dalam hatinya sendiri.
Pak C lebih happy hidup di kotanya meskipun hidupnya sederhana dengan banyak teman dari pada hidup dalam rumah mewah tapi kesepian, tidak punya teman.
Pertanyaan yang timbul: mengapa para anak-anak tidak / kurang mau memperhatikan orang tuanya. Apakah Kacang lupa pada Kulitnya?
---
Kisah hidup seperti Pak C ini tidak hanya satu, masih saya temui lagi kisah yang serupa.
Pak M, 82 th hidup bersama isterinya disebuah rumah sangat sederhana dengan membuka sebuah warung kecil.
Pak M mempunyai 5 putra/i.
Dari salah satu putrinya ( anak bungsu ) ia menerima Rp. 15.000,-/bulan. Putrinya ini seorang Guru SD yang PNS. Ia sendiri masih belum berkeluarga, hidup di sebuah tempat kost, dan harus mencicil kredit sepeda motor.
Putra yang sulung, seorang pedagang Beras di sebuah pasar tradisionil. Ia tidak pernah mengirim Beras kepada orang tuanya.
Ketika saya bertanya kepada Pak M “Kalau Lebaran, apakah ia memberi salam tempel?”
Pak M menjawab “Salamnya ada, Dok, tetapi tempelnya ( uangnya ) tidak ada!”
Aneh, ya!
Punya anak 5, tetapi yang mau memberi bantuan hanya seorang anak dengan jumlah yang kecil.
Anaknya yang hidup berkecukupan, tidak mau memberi bantuan hidup untuk orang tuanya. Ketika kecil Ortunya mati-matian membawanya ( dengan pinjaman uang dari tetangganya ) ke RS Umum terdekat agar ia sembuh dari demam tingginya dan hampir mati.
Setelah sembuh, besar, menikah dan hidup mapan, ia lupa atas jerih payah Ortunya yang sudah sepuh. Kacang lupa akan kulitnya!
---
Hidup yang makin susah, membuat orang bersikap aneh-aneh dan tidak mau membantu orang –orang lain, termasuk Ortunya sendiri yang sudah merupakan kewajiban anak terhadap Ortunya.