Friday, May 27, 2011

GUITAR,,,

     "He....Ha....Hi.... Terima Kasih. Maaf anda siapa? Saya dimana? Kau seperti orang yang ku lihat kemarin. Benar begitu?" Vio terkaget, matanya masih samar-samar melihat sekitarnya.
     Hujan tak kunjung berhenti menurunkan anak gerimis. Vio dan Rio pun masih terbuai hangat dalam percakapan itu. Perkenalan singkat kemarin membawa mereka akrab dalam cakap yang membaur. Karena Rio tidak tega melihat wajah Vio yang semakin memucat, ia bawa Vio ke dalam Toko klontang itu. Sepi, hanya rintik hujan yang menempati, terlihat ada lilin yang menyala dipojok Toko klontang itu. Tak disangka ternyata tempat itu hampir mirip dengan tempat-tempat romantis lainnya hanya saja Toko klontang ini diisi dengan barang-barang loak yang mungkin masih berharga. Tetapi itu semua bukan masalah untuk mereka, justru mereka makin mendalami cakapnya itu.
     "Mengapa kau ada ditaman? Padahal sedari tadi hujan turun dengan derasnya." Tanya Rio.
    "Aku pun baru sadar ketika engkau menempatkan jaket itu pada tubuhku. Aku tertidur, mungkin kecapekan." Jawab Vio.
     "Jadi kau tidak sadar? Pulas sekali tidurmu. Seperti........." Olok Rio.
     "Apa? Kerbau? Kau bisa saja membuatku merasa malu." Vio tenggelam dalam canda Rio.
     "Punya malu? Hahahahaha" Rio mulai bertingkah konyol.
     "Rio............ Jangan membuat pipiku semakin memerah!" Merekapun tertawa bersama.
     "Maaf. Okay lupakan tentang itu. Aku ingin bertanya sesuatu."
     "Apa itu?"
     "Ku lihat ada luka yang menancap dinadimu. Terlihat dari matamu, tidak bisa berbohong. Jujur saja, aku akan menampung keluhmu." Tukas Rio.
     "Tidak ada. Sudah lupakan. Aku ingin pulang ke rumahku. Terima kasih untuk malam ini."
     "Perlu ku antar?" Tawar Rio.
     "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih." Vio pergi, Rio tidak bisa memaksakan diri untuk mengantarkan Vio ke rumahnya. Rio tahu betul bagaimana sifat Vio, sekali mulutnya berkata tidak akan tetap tidak.

     Kejadian itu berlalu satu tahun yang lalu. Saat dimana Vio dan Rio baru mengenal satu sama lain. Saat dimana Toko klontang itu menumbuhkan benih cinta didalamnya. Saat awal dimana Rio bisa melihat luka pekat pada mata Vio. Saat dimana diam membisu merupakan cara terbaik untuk menyembunyikan rasa yang membludak. Saat dimana ada malaikat yang mengembangkan sayap langit membusur taburkan cinta. Saat dimana lilin itu menitihkan rindu dalam bejana nadi Vio. Dan itu semua terjadi satu tahun yang lalu, ketika Toko klontang melipat waktu dari sisa hujan. Toko klontang itu menghanguskan nama Rio dalam jiwa Vio.
      Vio mencoba untuk mengerahkan rasa gelisahnya, ilusi wajah Rio semakin pekat. Vio paksakan untuk tetap terjaga namun sia-sia, bola matanya membuahkan airmata. Vio pun terbangun dari kasur, mendekat pada ujung ruang tidurnya. Mengarah pada satu alat musik kesayangannya, Gitar. Gitar itu amat bermakna, andai ada seseorang yang ingin menyentuh Gitar itu lalu meingiri satu lagu dengan melodi indah yang tak tersisihkan untuk seorang Vio. Mungkin orang tersebut akan menjadi satu bagian terindah dari hidup Vio. Andai Rio rela memainkan Gitar itu untuk Vio, mungkin akan lebih dari cukup.
     Dengan menerima kenyataan bahwa Rio telah pergi dari hidup Vio saja sudah menjadi sesuatu yang sulit. Vio seperti membeku dalam hangatnya kenangan lalu. Dan tersayat akan ucapan Rio yaitu, “Akan ku ajarkan engkau memainkan melodi indah pada gitar ini, suatu hari nanti.” Tapi apa? Rio pergi. Vio tersayat ketika mengingat semua tentang Rio. Hanya lewat tulisan ini Vio bisa mengungkapkan.
 
“Aku rindu padamu. Wajah ceria yang ku punya itu semu. Senyum manis yang ku tunjukkan itu palsu. Mengapa tingkah baikmu itu hanya sekedar rekaan? Mengapa simpatimu hanya sekedar ilusi? Mengapa kau meninggalkanku disaat benang cinta itu mulai merajut kita dalam satu ikatan?”

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.