Memahami Kebebasan
Minggu, 13 Juli 2008 22:25 Dhabas Rakhmat
Oleh Agus Iswanto
Sekarang orang berlomba-lomba untuk membela kebebasan. Setelah selama 30 lebih tahun dibungkam kebebasannya, orang kini berbicara kebebasan. Kebebasan ini seringkali hanya dipahami sebagai kebebasan yang ada pada wilayah politis, tetapi belum menyentuh makna hakiki kebebasan itu. Dan atas nama kebebasan, kita hari ini dijejali dengan hiruk-pikuk anarkisme; demonstrasi intrumental( saya menyebutnya, untuk membedakan dengan demonstrasi hakiki). Sehingga udara kebebasan yang kita hirup adalah kebebasan yang absurd. Bagaimana kita seharusnya memahami kebebasan itu?
Dalam pengertian yang paling sederhana dan umum, orang dikatakan bebas jika tak ada hambatan atau larangan baginya untuk melakukan apa saja. Karenanya, orang yang berada dalam penjara dianggap tidak bebas, karena merasa dihambat kebebasannya. Pengertian ini sebenarnya sederhana, tetapi juga pengertian yang paling sederhana levelnya.
Dalam dunia fisik, kebebasan dipahami sebagai tidak adanya pengahalang bagi gerakan sebuah benda. Dalam ilmu politik, wacana kebebasan berarti bebas terbukanya dalam ruang publik untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak politik yang tentu saja dilindungi oleh undang-undang dalam negara yang demokratis. Dalam wacana filsafat dan teologi, kebebasan mempunyai makna yang lain, dan berkembang luas serta menyebar dalam berbagai paham. Adakalanya, manusia dalam perspektif teologi tertentu diibaratkan wayang yang ditentukan nasibnya oleh sang dalang (Tuhan), sehingga kebebasan itu sejatinya tidak ada dalam diri manusia.
Paham ini, secara psikologis bisa menjadi "obat penenang" hati seseorang ketika menghadapi berbagai macam musibah atau menemui kesulitan dalam kehidupan. Maka paham ini sering kali muncul, saat musibah melanda negeri ini. Ketika kita ditimpa musibah atau kesulitan, maka "obat" yang ampuh bagi paham ini adalah pasrah, menyerahkan hidup secara total kepada Tuhan.
Manusia dituntut untuk tidak melawan dan memberontak karena sesungguhnya semua yang terjadi, baik besar atau kecil, suka ataupun tidak suka maupun tidak sudah ditentukan dan ditulis oleh "sang pencipta nasib"; Tuhan. Manusia hanya bisa menjalani skenario sang dalang. Di sini, maka konsep surga dan neraka adalah semata kehendak Tuhan, manusia dianggap sebagai buih busa di tengah laut, tidak mempunyai daya apapun.
Kontras dengan pandangan teologis akan kebebasan sebagaimana di atas, maka pandangan ini beranggapan bahwa Tuhan betul zat yang Maha Kuasa, bahkan Maha apapun jua. Tetapi, seketika itu juga, Tuhan memposisikan manusia sebagai puncak "magnum opus" ciptaaannya, yang paling dikasihi dan disayang. Maka di sini Malaikat diciptakan hanya untuk melayani dan mengawasi manusia, dan semua yang ada di alam semesta; bumi, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, matahari, langit dan benda-benda lain disediakan untuk kepentingan manusia.
Karena itu, manusia adalah makhluk yang paling berkuasa di jagat raya ini. Pada saat yang sama pula, manusia bisa bersyukur atau tidak terhadap anugerah yang diciptakan Tuhan ini. Manusia, dengan kekuasaanya, merasa sebagai makhluk yang mempunyai otonomi atas dirinya di alam ini, sehingga lalu menusia tidak lagi mempunyai kepentingan untuk bergantung kepada Tuhan dalam mengarungi samudera kehidupan.
Diantara Dua Arus Kebebasan
Manusia selalu menginginkan bebas dari (freedom from) segala tekanan atau paksaan, tetapi di saat yang sama pula manusia ingin selalu bebas untuk (freedom to) berbuat sebagaimana pilihan hidupnya. Kebebasan manusia selalu berada diantara dua arus kebebasan ini.
Para ahli psikologi sosial menyadari bahwa perilaku masyarakat modern semakin hilang watak kemerdekaannya, karena kendali yang dilakukan oleh media periklanan (Komaruddin Hidayat, 2004). Seluruh aktifitas manusia sekarang disetir oleh media-media yang menjadi penentu trend dan gaya hidup mereka. Sehingga manusia modern sejatinya tidak bebas secara fisik maupun moral. Manusia tidak bebas dari iklan-iklan yang membius mereka agar melakukan sebagaimana yang ditayangkan oleh iklan.
Di sisi lain, kita terjerat oleh kebusukan birokrasi, dengan maraknya korupsi dan kondisi lalu lintas yang carut marut, semuanya membuat kita sebagai manusia yang tidak bebas. Konsep ideal freedom from telah hilang. Di sini manusia telah kehilangan dua kebebasannya, mereka tidak bebas dari penindasan harkat kemanusiaannya, dan juga tidak bebas untuk berbuat sesuai derajat kemanusiannya. Kebebasan fisik terkekang, lebih-lebih kebebasan moral. Maka manusia modern, sejatinya adalah manusia tanpa bebas, jikapun ada, maka kebebasan itu adalah kebebasan semu (absurd).
Manusia sejatinya bebas berbuat apa saja, namun tetap ada batasan dan kekuatan yang tidak bisa dilawan. Batasan itu bisa saja bersifat fisik dan bisa saja bersifat hukum moral keagamaan (Komaruddin Hidayat, 2004). Sebebas apapun manusia, dia akan selalu terikat dengan hukum fisik. Pikiran dan imajinasi bisa saja terbang melampui sekat-sekat fisik, budaya dan agama, bahkan jauh melampui planet bumi, hingga imaji surga dan neraka, tetapi, manusia pun tidak bisa mewujudkan semua fantasi dan imajinasi itu. Dalam ranah politik dan fisik, manusia akan cenderung untuk selalu dibatasi kebebasannya dengan kebebasan orang lain. Di sinilah, maka kebebasan politik dan fisik adalah kebebasan yang absurd. Maka, kebebasan sejati adalah kebebasan orang agar bebas dari belenggu kebodohan dan kenistaan hidup. Secara moral keagamaan, semua tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Ketika kembali pada Tuhan, manusia hanya membawa kebajikan.
Kebebasan Moral-Keagamaan
Dalam sudut pandang moral-keagamaan, orang yang merdeka adalah orang yang bebas dari keterikatan dan ketundukan pada kekuatan yang pada akhirnya menurunkan derajat kemanusiannya. Jika orang harus masuk penjara demi membela kebenaran, maka sejatinya ia merdeka dari arus yang mengacaukan. Maka kita bisa lihat bagaimana Pramoedya Anantatur bebas merdeka dalam tahanan kezaliman orde baru.
Sebaliknya, mereka yang hidup di istana atau rumah-rumah mewah, mereka bebas kemana pun pergi, yang kesemua diikuti dengan kerendahan moral yang menumbuhkan mental korupsi, maka mereka sejatinya bukan orang yang merdeka, mereka terjajah dan terpenjara secara moral, karena tidak mampu membebaskan harkat kemanusiaannya dengan menjual harga dirinya dengan korupsi.
Sebaliknya, mereka yang hidup di istana atau rumah-rumah mewah, mereka bebas kemana pun pergi, yang kesemua diikuti dengan kerendahan moral yang menumbuhkan mental korupsi, maka mereka sejatinya bukan orang yang merdeka, mereka terjajah dan terpenjara secara moral, karena tidak mampu membebaskan harkat kemanusiaannya dengan menjual harga dirinya dengan korupsi.
Ajaran agama (agama apapun), sejatinya lebih memihak dan cendrung pada kebebasan moral ketimbang kebebasan fisik dan politis. Karenanya, ukuran apakah seseorang atau masyarakat sudah mencapai tingkat kebebasan, tidak cukup dilihat dari perspektif politik atau fisik, tetapi lebih pada ketulusan hidup dan kekuatan pribadi dalam memperjuangkan harkat kemanusian. Maka idealnya, kemerdekaana moral ini diimplementasikan dalam ranah sosial-politik.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.