Tuesday, August 24, 2010

Tidak ingin diketahui penyakitnya


Salah satu tugas tenaga kesehatan adalah membuat / menjaga orang-orang lain tetap sehat ( tindakan preventif / pencegahan ). Bila ada yang sakit akan diberi pengobatan / terapi ( tindakan kuratif / pengobatan ). Bila ada yang belum jelas, diberi penjelasan agar tidak menjadi sakit ( tindakan promotif ).

Meskipun demikian masih saja ada beberapa  pasien yang kadang kala tidak ingin penyakitnya diketahui atau merasa takut kalau ternyata  didalam tubuhnya diketahui ada penyakit. Padahal main cepat diketahui (  di diagnosa ), makin cepat diterapi, dan makin cepat disembuhkan. Bila  makin lama tidak ter-diagnosa,  maka  komplikasi ( penyulit ) penyakit akan terjadi, penyakit makin parah dan biaya yang dikeluarkan akan makin membesar.

Saat ini sering kali sakit merupakan kemewahan bagi kebanyakan orang. Belum semua orang terlindungi oleh Asuransi Kesehatan yang dapat melindungi kesehatan setiap warga negara. Meskipun sudah terlindungi oleh Asuransi Kesehatan, bukan berarti kita  boleh bertindak semena-mena terhadap tubuh kita. Kita tetap harus menjaga dan merawat tubuh  agar kita tetap sehat dan bila sakit cepat berobat.

Sering kali  masyarakat bila sakit segan berobat secepatnya. Setelah penyakit makin parah, barulah berobat. Mengapa demikian? Sebab  bila sakit, mereka tidak dapat bekerja. Bila tidak bekerja, mereka tidak akan menerima upah kerja yang dibutuhkan untuk keperluan hidup sehari-hari. Akhirnya mereka  berpendapat “tidak ada waktu untuk sakit”, no time to be ill. Artinya tiap hari dianggap selalu sehat yang tentunya  tidak selalu benar.

---

Kemarin datang berobat Ibu MS, 50 tahun. Keluhannya bila batuk atau ngedan  ia merasa tidak nyaman, sedikit nyeri di daerah bawah pusar sejak 2 minggu ( mungkin lebih karena tidak dirasakan benar ).Tekanan darah dan lain-lain dalam batas normal. Tidak ada penyakit sebelumnya. Pasien belum minum obat atau berobat kemanapun. Pekerjaan karyawan sebuah perusahaan. Sudah 1 tahun berhenti haid ( menopause ). Tidak ada perdarahan per vaginam. B.a.k. dan b.a.b. tidak ada keluhan. Tidak ada demam.

Ketika dilakukan pemeriksaan perabaan ( palpasi ) daerah perut, teraba suatu benda yang besar dibawah pusar setinggi kehamilan 4-5 bulan, pinggiran benjolan sampai ke daerah kanan panggul. Permukaan benjolan rata, tidak nyeri tekan, sukar digerakkan ( nonmoveable ).

Saya terkejut juga dan penasaran, apakah saya perabaan saya salah. Saya ulangi tindakan palpasi dengan lembut. Benjolan itu tetap teraba jelas.

Akhirnya saya membuat suatu kesimpulan adanya tumor intra abdomen ( benjolan di dalam perut ). Semoga pemeriksaan saya ini salah.

Saya menganjurkan untuk membuat pemeriksaan penunjang yaitu USG lower abdomen ( Ultra Sono Grafi  perut bagian bawah ) di Laboratorium Klinik terdekat.

Ketika saya membat Surat Pengantar, sang pasien berkata “Dok, saya minta diberi resep obat saja dahulu.”

Saya menjawab “Mengapa, Bu. Kalau  hasil USG-nya normal itulah yang kita harapkan, Kalau hasil USG menunukan adanya kelainan dalam tubuh Ibu, maka  penyakitnya dapat segera diatasi.”

Pasien menjawab “Sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, bagaimana kalau saya harus dirawat di Rumah Sakit? Saya tidak mau begitu.”

Glek... Saya tidak menyangka mendapat jawaban asien demikian. Apakah ini  “no time to be ill” seperti diatas? Pasien lebih mementingkan suatu Hari Raya yang setiap tahun dirayakan dari pada memperhatikan kesehatan tubuhnya yang kali ini harus diketahui dan ditangani dengan baik sehingga tahun-tahun berikutnya, pasien dapat merayakannya dengan baik. Pasien tidak mau penyakitnya diketahui saat ini. Minta resep obat saja.

Dalam seni mengobati yang benar adalah mengobati sebab penyakit ( benjolan dalam perut ) bukan gejala penyakit ( mengobati rasa tidak nyaman / sakit di bawah perut ). Kalau ini yang dilakukan maka setelah efek tablet obat anti nyeri habis dalam waktu beberapa jam, maka rasa tidak nyaman itu akan terulang kembali. Akhirnya penyakit tidak sembuh juga.

Di dalam hidup ada banyak pilihan. Pilihan mana yang akan kita ambil, itu terserah kepada kita. Kita sebaiknya harus bijaksana mengambil keputusan. Skala prioritas pertama-lah yang harus kita ambil. Yang tidak penting, dapat dilakukan di lain waktu. Dalam keadaan gawat darurat, maka tindakan life saving-lah yang nomer satu. Yang lain-lain dapat dikerjakan setelah tindakan life saving dilakukan.

Akhirnya  saya mengambil solusi: diberikan sebuah resep obat dan memberikan sebuah Surat Pengantar untk membuat USG kapan pasien ada waktu dan ada kemauan, dengan sebuah pesan tolong saya diberitahu hasil pemeriksaan USG tsb. Bila hasilnya ada yang tidak beres, saya dapat segera merujuk kepada Dokter Ahlinya. Kalau hasilnya dalam batas normal, itulah yang kita harapkan. Bagaimana pendapat anda?

Seperti yang pernah saya katakan, untuk berbuat baikpun ternyata tidak mudah. Ada batu sandungan di depan kita.

Dalam waktu beberapa hari kedepan, saya berharap agar pasien mau membuat dan memberitahukan hasil USG  tadi. Semoga.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.