Dalam keseharian saya sering menjumpai suatu hal yang sering kali tidak nyambung.
Kisah-kisah dibawah ini dapat dijadikan contoh seperti topik posting saya kali ini.
---
Suatu pagi sekitar pukul 05.45 saya menerima panggilan telepon rumah.
Sebenarnya masih terlalu pagi untuk pasien datang berobat. Terjadilah dialog ini.
“Halo, met pagi”, kata saya
“Met pagi, Pak. Bisa bicara dengan dokter H ( isteri saya ),” seorang wanita bertanya.
Saya belum menjawab pertanyaannya dan balik bertanya “Ini siapa ya?” ( maksud saya bertanya nama anda siapa? ).
“Saya pasien Ibu dokter.”
“Maaf, anda siapa?” saya balik bertanya
“Pasiennya yang di jalan Anu.” ( rupanya ia tidak mau mengatakan siapa namanya. Kalaupun ia asal menyebut sebuah nama, toh saya tidak tahu apakah itu nama asli atau asal sebut sebuah nama ).
“Pasien isteri saya, ada banyak. Nama anda siapa? Kalau isteri saya bertanya, dari siapa telepon ini. Lalu saya bilang dari siapa ya? Ibu kok tidak mau menyebutkan nama anda sendiri?” kata saya.
“Saya pasiennya yang sering berobat!” ia berbicara lagi.
Habislah sudah kesabaran saya dan berkata “Baiklah. Ada keperluan apa Ibu?
“Saya mau berobat, apakah bisa sekarang?” ia bertanya.
Oleh karena kami belum siap untuk melayani pasien, saya menjawab “Kalau Ibu mau berobat silahkan datang pukul 07.00 sebentar lagi ya.”
“Kalau sekarang tidak bisa?’ suara itu masuk ke telinga kiri saya. Aduh…bicara dengannya kok tidak nyambung ya. Sepertinya ada yang salah, tapi siapa yang salah? Isteri saya sedang berada di dalam kamar mandi yang tidak mungkin untuk menerima panggilan telepon rumah yang jaraknya cukup jauh dari kamar mandi.
Saya letakkan telepon rumah itu karena terdengar nada musik, tanda ada SMS yang masuk ke handphone saya. SMS dari putra kami yang bekerja dan tinggal di kota Sydney. Waktu menunjukan pukul 06.05, berarti disana sudah pukul 09.05 pagi, biasanya ia sudah berada di Rumah Sakit tempat ia bekerja.
--
Suatu pagi ketika saya dan supir mobil Gereja kami akan menuju ke Panti Wreda, kami bermaksud untuk membeli 2 macam obat untuk saya sendiri di sebuah Apotik A.
Saya menunggu di dalam mobil dan membekali sejumlah uang dan sebuah resep kepada Pak U, sang supir.
Tidak lama kemudian ia datang dan berkata “Dok, katanya uangnya kurang.”
“Kurang berapa? Lho kok harga 2 obat ini lebih mahal dari Apotik B!”
Biasanya seharga Rp. 120.000,- ini kok Rp. 168.000,- Kok bedanya cukup besar.
Saya turun dari mobil dan langsung menemui pegawai Apotik A “mbak apakah benar ini harganya segini?” Mestinya ia tahu kalau ia sedang berhadapan dengan dokter yang menulis resep itu, karena dalam kolom Pro ( untuk ) tertulis U.p. ( usus propium ) untuk pemakaian sendiri atau untuk dokter ybs. Sang pegawai menyerahkan obat dan resep tadi kepada pegawai lain, tanpa berkata apa-apa kepada saya. Mangkel juga. Tamu yang akan membeli obat atau akan memberi uang kok dicuekin saja! Padahal di Apotik A ini belum banyak orang yang belanja. Saya melihat pegawai lain tadi membalik-balik sebuah buku ( mungkin buku daftar obat ). Lalu ia membuka-buka sebuah buku lain. Bolak-balik, lama juga saya berdiri di Ruang Apotik A ini. Hampir 10 menit, masih belum ada kejelasan apakah harga itu benar atau tidak benar. Sudah waktunya saya memeriksa kesehatan para Oma dan Opa di Panti Wreda. Akhirnya saya meninggalkan Apotik A dan masuk ke dalam mobil dan minta agar mobil segera meluncur ke Panti.
Sang supir bertanya “Bagaimana Dok obatnya?”
“Entahlah kok lama sekali memeriksa harga obat itu. Saya putuskan tidak jadi membeli obat disitu. Saya akan beli di Apotik B saja, langganan saya via telepon saja nanti siang.” saya menjawab.
Kok tidak nyambung ya.
Sebagai pembeli saya tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Semua resep yang saya buat untuk warga Panti, masuk ke Apotik A itu. Saya sudah turut andil dalam menghidupi kelangsungan Apotik A tsb, tetapi ketika saya akan membeli ( bukan meminta ), saya tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya dengan cepat tanggap.
Kalau di Ruang O.k. ( Operasi Kamer ) saat mau melakukan operasi terhadap pasien, bila terjadi seperti itu, maka saya membatin ”Wah…pasienya keburu meninggal nih.” ( lama tidak ditangani dengan cepat tanggap ).
---
Ketika saya pulang dari tugsa pelayanan di Panti Wreda, isteri saya melaporkan bahwa tadi ada seorang Ibu dari kota C ( 15 Km dari kota kami ) yang bermaksud berobat kepada saya saat itu juga ( sekitar pukul 10.00 pagi ).
Oleh karena saya tidak berada di tempat dan baru pulang pukul 12.00, maka isteri saya menyarankan agar datang saja ke temat praktik nanti sore pukul 16.00. Ia menyetujui usulan isteri saya.
Ketika saya praktik sore sampai malam haripun, ia tidak datang dan tidak ada pasien yang berasal dari kota C tsb. Mungkin ia sudah berobat ke tempat lain, karena saya yakin disana ada banyak Teman Sejawat Dokter yang buka praktik.
Lagi-lagi tidak nyambung.
Pasien seharusnya menunggu dokter, tetapi kali ini dokter yang harus menunggu pasien. Keadaan sudah terbalik. Ditunggu-pun pasien tidak datang. Tidak nyambung, persis seperti topik posting saya kali ini!
---
Suatu sore saat saya buka praktik, seorang Bapak ngomel-ngomel kepada saya.
“Ini bagaiman, dok. Sakit anak saya belum sembuh juga, padahal obatnya sudah diminumkan,” ia berbicara.
“Lho, Pak putra Bapak kapan berobatnya?” saya bertanya.
“Ini kan obat dari resep dokter untuk anak yang sama. Sudah diminumkan 2 kali puyernya tapi panasnya belum turun juga. Bagaimana ini, dok?”
Saya lihat Catatan pasien tsb. Benar ia pernah berobat, tetapi ia berobat hampir 1 tahun yang lalu, bukan 1-2 hari yang lalu. Lalu dari mana resep obat itu?
Kalau resep itu diulang ( mestinya tidak boleh diulang tanpa resep baru dari dokter ), maka dosis obat semuanya tidak sesuai karena pasien sudah bertambah besar umurnya dan tentunya dosis obat akan bertambah besar sesuai dengan usia pasien. Kalau diberikan dosis yang kecil maka mungkin sekali efek pengobatan tidak akan tercapai alias demam tidak turun dan juga mungkin perlu obat antibiotika atau obat yang lain. Jadi pengulangan resep dengan berbeda usia dan berbeda penyakitnya ( dulu Flu, sekarang Demam Berdarah atau lainnya ) tidak menjamin semua penyakit dapat sembuh dengan sebuah resep obat yang sama. Tidak nyambung.
Tapi Bapak itu tidak mau mengerti dan menyalahkan dokternya. Setelah dijelaskan, baru mengerti.
Pada kasus yang hampir sama, akhirnya saya mengerti kalau Ortunya itu tidak mau memberikan doctor fee, bila anaknya sakit lagi. Lalu dicari alasan bahwa penyakitnya tidak sembuh, dengan harapan dibebaskan dari doctor fee. Kalau ia bicara baik-baik, dan mood saya sedang baik, maka saya tidak berkeberatan kalau ia minta digratiskan. Tidak ada salahnya untuk berbuat suatu kebaikan.
Sering kali sikap sabar dan mau mendengarkan ( itulah sebabnya kita mempunyai 2 Telinga dan hanya 1 Mulut, untuk lebih banyak mendengar dari pada banyak bicara ) banyak manfaatnya bagi kita semua. Amin.