Kalau seseorang mendapat sesuatu ( uang, materi, perhatian, bantuan, kasih sayang dll ) dari orang lain, menurut pemikiran yang sehat, seharusnya orang yang diberi akan berterima kasih kepada orang yang memberi, bukan?
Kisah dibawah ini, menyatakan sebaliknya.
Jangankan berterima kasih, melihat wajah yang memberi saja juga tidak.
Sudah separah itukah masyarakat kita? Semoga tidak semuanya demikian.
---
Saat ini sukar mencari pekerjaan, karena jumlah lapangan pekerjaan lebih sedikit dari pada jumlah orang yang mencari pekerjaan. Sering kali Ijasah yang dimiliki selama bertahun-tahun sekolah ternyata dipergunakan untuk pekerjaan yang lebih rendah dari pada Ijasah yang dimilikinya. Apalagi kalau tidak mempunyai Ijasah atau keahlian sama sekali.
Kalau mempunyai pekerjaanpun, belum tentu honor yang diterima akan mencukupi kebutuhan hidup setiap bulannya. Kalau mempunyai uang sering kali banyak orang tergoda untuk membelanjakan uangnya dengan pola konsumtif alias besar pasak dari pada tiang. Keadaan ini lebih diperparah lagi dengan adanya fasilitas Kredit dari perusahaan ybs atau fasilitas Kartu Kredit dari Bank tertentu. Akibatnya setiap bulan gali lubang, tutup lubang.
Kasus 1:
Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga untuk Lunch ingin mencicipi Soto Buntut disebuah Rumah Makan di jalan Anu di kota. Kami menuju kesana dan Minibus kami diparkir di halaman Rumah Makan itu.
Setelah memesan hidangan, saya ngobrol dengan isteri, putra dan putri kami.
Datanglah seorang Pengamen membawa sebah Gitar. Tanpa permisi ia langsung memetik Gitar dan menyanyi sebuah lagu Dang dut. Dengan suara yang serak-serak basah, terdengar nyanyiannya tidak nyaman terdengar.
Saya mengambil sebuah koin Rp. 500 di saku celana saya dan diberikan kepada sang Pengamen. Ia menerima koin tsb, melihatnya sejenak dan sedetik kemudian koin itu dilemparkannya. Koin itu berputar di lantai dan menggelinding menuju pintu keluar.
Saat perut lapar, hidangan belum tersaji dan menerima perlakukan begitu, emosi juga saya.
Saya berteriak kepadanya “Hey, sini kau!! Maunya berapa?”
Sang Pengamen sangat terkejut melihat saya berteriak. Ia berlari cepat keluar dari Rumah Makan tadi.
Ada 2 orang pelayan RM yang melihat adegan tadi, tetapi mereka diam saja, acuh tak acuh. Mungkin kejadian seperti itu sering mereka lihat terhadap tamu-tamu lain.
Saya berkata kepada mereka “Sebaiknya pihak Rumah Makan bertindak agar para Tamu yang makan disini tidak terganggu oleh kelakuan para pengemis yang datang. Kalau para Tamu merasa terganggu, maka mereka pasti tidak akan makan disini lagi dan pihak Rumah Makan akan rugi karena tidak ada Tamu yang datang untuk makan ”.
Mereka mohon maaf, tetapi tampaknya mereka tidak bertindak apa-apa.
Kalau saja Pengamen itu merasa diberi uang yang sedikit, kan bisa saja ia berkata “Tambahin, Om...” Mungkin sekali saya akan memberi sebuah koin lagi atau selembar ribuan dengan ikhlas.
Kasus 2:
Kejadian ini saya alami kemarin siang. Saya mengunjungi sebuah Toko Kelontong yang melayani pekerjaan Fotokopi. Saya datang untuk membuat sejumlah Fotokopi berkas untuk aplikasi perpanjangan Surat Ijin Praktik Dokter Umum.
Saat menunggu selesainya Fotokopi, tiba-tiba siku kiri saya ada yang menyentuh dengan agak kasar. Saya melihat ada seorang wanita setengah baya yang langsung menyodorkan tangan kanannya ke arah saya. Pakaiannya kumal, wajahnya kusut. Mungkin ia belum makan. Rupanya ia seorang pengemis. Ia tidak berkata apapun, seolah saya otomatis sudah mengerti maksudnya.
Saya merogoh saku celana saya dan menyentuh sebuah koin satu-satunya. Koin itu Rp. 500,- sedianya untuk bayar parkir sepeda saya nanti. Saya berikan koin itu kepadanya. Wanita itu menerima koin dan melihat sejenak. Setelah ia yakin bahwa itu hanya koin Rp. 500,- ia langsung mengembalikannya lagi kepada saya, tanpa berkata apa-apa.
Saya menerima kembali koin itu dan berkata “Diberi segitu tidak mau, ya sudah.”
Saya tidak mempedulikannya lagi, sebab pelayan toko segera memberikan berkas Fotokopi yang saya pesan.
Kalau saja pengemis itu berkata secara baik-baik “Pak tolong, saya belum makan.”
Pasti saya akan bertindak lebih baik untuk menolong agar ia bisa membeli sebungkus Nasi dan lauknya.
Pak S, pemilik Toko itu berkata “Sekarang kejadian seperti itu, sering terjadi setiap hari di toko saya. Akhirnya saya tidak mau memberinya lagi sebab mereka para pengemis juga tidak mau menerimanya. Padahal kalau mereka dapat koin Rp. 500,- yang dikumpulkan, maka dalam setiap hari ia akan dapat banyak uang, bisa sekaleng besar penuh dengan koin senilai puluhan ribu rupiah. Mereka tidak mau bekerja, tetapi maunya dapat uang banyak.”
Saya membatin “Bukan tidak mau bekerja, tetapi malas. Maunya begitu menyodorkan tangan, ia menerima banyak uang. Siapa yang mau memberi?”
----
Etika meminta atau memohonpun tentulah ada caranya.
Apakah kalau kita memohon kepada Tuhan yang tidak / belum terjawab, kita akan marah kepada Tuhan?
Meminta sesuatu kepada siapapun mesti:
* ikhlas ( kalau diberinya tidak sesuai permintaan ),
* bicara lemah lembut ( tidak kasar, bentak-bentak ),
* sabar ( kalau belum diberi saat itu juga, mungin besok atau lusa ),
* sopan santun ( karena tidak punya uang ),
menerima apa adanya ( kalau hanya dberi segitu ya terima, kalau diberi banyak ya
terima dan bersyukur masih ada orang yang masih peduli ).
Bila permintaan kita sudah terkabul, wajiblah kita bersyukur, berterima kasih dan juga membantu orang-orang lain yang membutuhkan bantuan kita.
Tuhan Maha Tahu, Maha Melihat dan Maha Mendengar doa-doa kita. Amin.-
---
Bila kita mengetuk pintu pertama yang tidak dibuka, maka mungkin Tuhan akan membukakan pintu kedua yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.