Thursday, July 7, 2011

Hematophobia



Hematohobia atau Hemophobia adalah rasa takut terhadap darah.
Hemato, hemo berarti darah. Phobia adalah rasa takut yang  abnormal.

Ada  orang yang tidak ngeri melihat darah. Ada orang yang takut atau ngeri bila melihat darah. Reaksinya bisa berupa badan lemas, pusing, pingsan dll.

Konon burung Beo, yang pandai menirukan suara orang, bila melihat darah,  burung ini  akan mati. Saya sendiri belum pernah menyaksikan kebenaran hal ini.

Kasus Hematophobia beberapa kali saya saksikan sendiri. Penyebabnya  masih belum jelas, tetapi rupanya ada faktor genetik turut berperan. Bila orang tuanya begitu, maka anaknya akan begitu juga. Mirip istilah “Like father, like son” atau “Like mother, like daughter.”

---

Beberapa tahun yang lalu saat saya melakukan khitan ( sunat ) terhadap seorang anak  laki-laki, 5 tahun. Ayahnya, Pak Z, 35 tahun, mendampingi putranya. Sang anak ingin agar saat dikhitan, ia didampingi oleh ayahnya. Masih manusiawi juga.

Saat itu masih dipakai pisau bedah ( scalpel ) untuk melakukan pemotongan kulit Praputium ( kulup ). Dengan demikian terjadi sedikit perdarahan. Saat ini saya sudah mengunakan Elektro kauter yang dialiri listrik sehingga saat pemotongan, tidak terjadi perdarahan sedikitpun. Jadi lebih praktis dan tugas lebih cepat diselesaikan.

Mau tidak mau Pak Z dapat melihat apa yang terjadi saat khitanan itu. Perdarahan yang menurut saya hanya sedikit, sebab cepat di atasi dengan menjepitnya dengan beberapa klem dan penjahitan.

Warna Merah dari darah membuat Pak Z tiba-tiba terduduk dilantai beberapa saat.

Saya bertanya kepada Pak Z “Ada apa Pak? Khitanannya sudah selesai kok, tinggal membalut saja. Ayo bangunlah.”

Agak lama ia menjawab “Saya pusing, Dok melihat darah.”

”Sudah selesai, Pak. Mari bangun dan duduk di kursi.”

Saya memberikan segelas plastik air meniral kepadanya. Yang dikhitan putranya, tetapi yang kolaps ayahnya. Kasihan juga ya.

---

Minggu yang lalu, saya kedatangan pasien, B, 20 tahun. Setelah mengalami luka-luka lecet, saya mempersilahkan pasien berbaring di bed.

Ibunya yang mengantar enggan masuk ke Ruang periksa untuk mendampingi putranya. Rupanya ia mengidap Hematophotobia juga. Katanya ngeri kalau melihat darah dan ia tidak mau melihatnya. Biar Bapaknya saja yang mendampingi, katanya.

Saya minta sang ayah untuk mendampingi putranya, sebab ia mengerang-ngerang kesakitan akibat luka-luka lecet itu.

Saya berkata “Lebih baik dibawa ke Rumah Sakit Umum saja. Kalau diperlukan nanti bisa meminta surat Visum et Repertum dari Rumah Sakit bila diperlukan, sebab disana akan tercatat data Medical record setiap pasien.

Ayahnya menolak “Dok, biar diobatin dsini saja, engga mau ke Rumah Sakit. Urusan kecelakaan sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak yang tertabrak sepeda motor anak saya juga tidak luka-luka dan sepeda motornya hanya sedikit penyok yang nanti kami perbaiki di bengkel langganan kami.”

Ya sudah, Syukur, akhir dari KLL ( Kecelakaan Lalu Lintas )  itu tidak berlanjut menjadi panjang.

---

Saat kami  kuliah dan menjadi Ko-asiten ( dokter muda ) disebuah Rumh Sakit Pendidikan, kami pernah melihat kasus Hematophobia juga.

Kami diwajibkan belajar di Klinik Gigi dibawah bimbingan seorang Dokter Gigi yang cukup simpatik membimbing kami.

Di Klinik Gigi selama 2 minggu bertugas, kami wajib dapat melakukan pencabutan ( ekstraksi ) gigi minimal 20 gigi dewasa. Kemampuan ini  mungkin sekali akan diperlukan bila kami di tugaskan di tempat yang jauh dari Rumah Sakit yang tidak mempunyai Klinik Gigi.

Tibalah giliran teman wanita kami, LS melakukan ekstraksi gigi seorang Ibu berusia sekitar 35 tahun. Setelah pembiusan lokal berhasil, ia hendak melakukan ekstraksi.

Dengan mantap LS memegang sebuah Tang ekstraksi dan gigi pasien berhasil dicabut. Kami melihat diujung jepitan Tang itu terdapat gigi yang sudah berlobang besar. Kami gembira, giliran berikutnya saya untuk mencabut gigi pasien yang lain.

Eh…mendadak suasana menjadi heboh.
Perawat wanita  di Klinik Gigi ini berteriak “Dok, dok, bangun, bangun. Wah gimana nih……”

Rupanya LS merasa pusing dan lemas terduduk di sebuah kursi pasien.

Saat sudah menjadi lebih tenang dan minum seteguk air Teh hangat, ia menjawab “Maaf, kepala saya  pusing setelah melihat banyak darah yang keluar, ketika saya mencabut gigi pasien itu.” Pasiennya sudah  aman  dan keluar dari Ruang Klinik Gigi.

Saya membatin “Tentu saja banyak darah yang keluar saat gigi dicabut, tetapi kan tidak sebanyak kalau  Wanita  partus ( melahirkan bayi ) di ruang VK ( ruang bersalin di RS ). Pasiennya tenang-tenang saja, tetapi Dokternya yang kolaps.”

Teman wanita kami ini hebat. Keesokan harinya saat LS melakukan ekstraksi gigi pasien yang lain, ia sudah dapat beradaptasi dan tidak kolaps lagi. Hebat teman kami yang satu ini. Mungkin setiba di rumah ia berikir, kalau ia senantiasa kolaps, pasti tidak lulus di Kinik Gigi ini dan bagaimana ia dapat lulus Ujian akhir dan dapat menjadi Dokter Umum?

Tekad yang besar dan kemampuan yang kuat sangat berperan dalam perjuangan study Kedokterannya.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.