Wednesday, July 18, 2012

Hal yang harus dihindari ketika puasa



Onani
Imam Empat dan mayoritas ulama berpendapat bahwa onani membatalkan puasa, karena dia dihukumi tidak meninggalkan syahwatnya. Ini yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani -rahimahumullah-.
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal puasa -walaupun puasanya makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang menyatakannya.
Bermesraan atau mencium atau memandang wanita.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a.    Jika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini:
1.    Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tidak ada qadha.
Ini adalah pendapat para ulama Kufah dan Imam Asy-Syafi’i.
2.    Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha sekaligus bayar kaffarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima’, sementara jima mengharuskan membayar kaffarah.
3.    Tidak ada kewajiban qadha` atasnya dan tidak pula kaffarah.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani tatkala beliau mengatakan, ”Yang nampak, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah kecuali atas orang yang melakukan jima’. Mengikutkan perbuatan selain jima’ kepadanya (jima’) adalah hal yang tidak tepat.”
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.
Adapun pendapat pertama, mereka tidak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dengan kenyataan bahwa orang yang melakukan jima’ tetap wajib membayar kaffarah walaupun tidak ada mani yang keluar, wallahu a’lam.
b.    Jika hal itu tidak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
1.    Boleh.
Pendapat ini dinukil dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (3/60) dan (4/185) dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Hanya saja Ibnu Hazm terlalu berlebihan hingga menyatakan sunnahnya.
Mereka berdalil dengan 3 hadits dari: Hafshah, Aisyah, dan Ummu Salamah, dimana dalam ketiga hadits ini disebutkan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mencium istrinya sedang beliau berpuasa. Hadits Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim sedang dua lainnya diriwayatkan oleh Muslim.
2.    Haram.
Bahkan sebagian ulama -seperti Abdullah bin Syubrumah- berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Pendapat ini juga dibawakan dari Said bin Al-Musayyab.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, ”Maka sekarang (setelah malam), sentuhlah mereka (istri kalian).” (QS. Al-Baqarah: 187)
Mereka menjawab hadits-hadits yang membolehkan bahwa itu hukum itu hanya khusus berlaku untuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
3.    Makruh secara mutlak.
Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena perbuatan ini merupakan wasilah terjadinya hal yang diharamkan. Adapun hadits-hadits yang membolehkan, mereka juga menjawabnya seperti jawaban pendapat kedua.
4.    Makruh bagi pemuda dan boleh bagi yang sudah tua.
Dalil yang dijadikan pendukung bagi pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah dia berkata, ”Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu bertanya kepada beliau tentang ’menyentuh’ istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau memberikannya keringanan. Dan ada orang lain yang datang kepada beliau dan menanyakan hal yang sama maka beliau melarangnya. Ternyata yang beliau berikan keringan adalah seorang yang tua, sementara yang beliau larang adalah seorang pemuda.”
Sanadnya shahih. Adapun rawi dalam sanadnya yang bernama Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid, maka dia telah dinyatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Main sebagaimana dalam Tarikh Ad-Darimi. Karenanya hukum majhul yang dilontarkan sebagian ulama kepadanya tidaklah tepat.
5.    Jika dia bisa menguasai syahwatnya maka boleh, dan jika tidak bisa maka tidak boleh.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan Ats-Tsauri. Mereka berdalilkan hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
”Adalah Rasulullah  mencium dalam keadaan berpuasa dan beliau ’menyentuh’ dalam keadaan berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan hasratnya di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)
Terlarangnya orang yang tidak bisa menguasai dirinya karena hal itu bisa membahayakan puasanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang kelima. Dan kalaupun dia melakukannya padahal dia tidak bisa menguasai dirinya maka puasanya tidaklah batal sampai dia melakukan jima’.
Pendapat pertama terbantahkan dengan dalil pendapat keempat dan kelima.
Pendapat kedua dan ketiga terbantahkan dengan dalil pendapat pertama, keempat, dan kelima. Adapun ayat yang mereka pakai berdalil, maka dikatakan: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- sebagai penjelas Al-Qur`an telah mencium istrinya di siang hari, maka ini menunjukkan bahwa ’menyentuh’ dalam ayat itu bermakna lebih khusus yaitu jima’.
Adapun klaim mereka bahwa hukum boleh itu hanya berlaku untuk Nabi saja, maka terbantahkan dengan hadits Umar bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, ”Apakah orang yang berpuasa boleh mencium?” maka beliau menjawab, ”Tanya dia,” maksudnya Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosamu yang terdahulu dan belakangan,” maka beliau menjawab, ”Ketahuilah, demi Allah sungguh saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian.” (HR. Muslim)
Mirip dengan hadits seorang lelaki dari Al-Anshar mencium istrinya lalu setelah itu dia menyuruh istrinya untuk menanyakan masalah ini kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Setelah bertanya, istrinya mengabarkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Maka dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi telah diberikan keringan pada beberapa perkara maka kembalilah bertanya kepada beliau.” Maka istrinya kembali menanyakannya maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, ”Saya adalah orang yang paling bertakwa dan yang paling tahu tentang batasan-batasan Allah di antara kalian.” (HR. Ahmad: 5/434 dan dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih)
Adapun pendapat keempat maka dijawab: Masalah syahwat adalah bersifat nisbi, tidak ada hubungannya dengan masalah umur. Terkadang ada orang tua yang syahwatnya lebih besar daripada pemuda dan sebaliknya. Juga terbantahkan dengan kisah Umar bin Salamah yang ketika itu beliau seorang pemuda.
[Al-Fath: 1927, As-Subul: 4/128-129, Al-Muhalla masalah no. 753 dan Al-Majmu’: 6/355]

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.