Friday, June 24, 2011

Mencapai cita-cita


 ( foto ilustrasi )

Bulan yang lalu ada sepasang suami-isteri datang mengantar putranya S, 15 tahun yang menderita batuk, pilek.

Setelah memeriksa dan mebuat resep untuk S, Bapak dan Ibu Sutikno ( bukan nama sebenarnya ) lama memandang Foto-foto saat putra dan putri kami diwisuda. Foto-foto itu saya pasang di tembok disamping saya.

Saya bertanya kepada mereka “Bapak, Ibu ada apa? tampaknya Anda serius sekali melihat Foto-foto itu.”

Ibu Sutikno berkata “Itu foto-foto putra dan putri dokter?”

“Benar”.

Pak Sutikno bertanya “Ambil study bidang apa, Dok?’

Sebenarnya saya  tidak ingin menjwab pertanyaan ini, tetapi saya melihat mereka tampak serius dan menanti jawaban saya selanjutnya.

“Saya menjawab “Putra kami saat itu sudah menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1, Kedokteran Umum dan saat ini sedang menyelesaikan S2nya. Putri kami di wisuda setelah menyelesaikan jenjang S1, Tehnik Kimia dan menyelesaikan S2, Biomedikal Tehnologi. Mereka  berkampus di UNSW, Sydney.”

Mereka  bersamaan berkata “Luaar biasa, dokter.”

Kai ingin agar putra kami satu-satunya ini dapat study seperti anak dokter.”

“O… ingin menjadi apa?” saya bertanya lagi. Kebetulan  masih belum ada pasien lain yang ingin berobat sehingga kami ada  cukup waktu untuk berbincang-bincang dengan Ortu pasien saya ini.

Ibu S menjawab “Ingin jadi Dokter.”

Saya menjawab “Baik, Bu cita-citanya, tapi ngomong-ngomong yang ingin jadi dokter, orang tuanya atau anaknya? Apakah Bapak dan Ibu sudah bertanya kepada putra ibu? Ia bercita-cita ingin sekolah apa?”

Glek…ditanya dengn pertanyaan ini, kedua aorang tua ini terhenyak.
Iya-ya yang ingin jadi dokter mereka atau anaknya?

Lalu saya bertanya kepada pasien saya yang berwajah cakep ini “Adik bercita-cita ingin  menjadi dokter?”

Dengan lantang  S menjawab “Bukan itu, dok.”

“Lalu ingin jadi apa? kalau bukan jadi dokter sepertikeinginan orang tua adik?”

S tampak ragu-ragu dan melihat kedua orang tuanya, seolah takut dimarahi.

Ibu Sutikno berkata dengan nada lemah lembut “Nak, seenarnya ingin sekolah apa setelah lulus SMU nanti?”

S menjawab “Kalau boleh sih, saya ingin sekolah T.I.”

Kedua orang Tanya  masih bingung mendengar istilah T.I. atau Tehnologi Informatika, yang bergelut di bidang Komputer.

Saya berkata kepada mereka “Nah…lho putra Ibu dan Bapak ingin sekolah T.I. tetapi Anda berdua ingin agar S sekolah Dokter. Bagaimana ini? Jadi benarkan, yang ingin jadi dokter adalah orang tuanya.”

Lemaslah kedua orang tua ini. Ternyata mereka tidak menyangka bahwa cita-cita orang tua berbeda dengan cita-cita putranya.

Melihat ada rasa kecewa pada kedua orang tua ini, saya melanjutkan “Ibu dan Bapak, tujuan akhir menuntut ilmu adalah untuk melayani orang lain dan mencari uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apapun sekolahnya, tidak menjadi masalah. Asal dijalankan dengan baik, maka hidup putra Anda akan sukses juga. Tidak peduli apakah ia menjadi Dokter, Ahli T.I. atau lainnya.”

Ibu Sutikno berkata”Tapi, dok… kami ingin agar putra kam  dapat jadi dokter seperti dokter Basuki ini.”

“Ah..Ibu. Sebenrnya cita-cita Ayah saya dan cita-cita saya juga tidak sama. Yang ingin jadi dokter sebenarnya Ayah saya.”

Pak Sutikno bertanya lagi “Lalu sebenarnya cita-cita dokter Basuki apa?”

Saya mejawab “Saya ingin menjadi dokter hewan.”

Mereka bertanya lebih agresif “Mengapa Dokter Hewan, dok?’

Menjelang Ujian akhir SMU saya berpendapat “Dokter Hewan lebih pandai dari pada Dokter Manusia ( maaf ). Kalau manusia dapat diajak bicara, sedangkan Hewan tidak dapat diajak bicara manusia . Jadi kalau dapat menyembhkan Hewan tanpa  banyak bicara, maka ini suatu hal yang hebat. Itulah sebanya saya ingin menjadi Dokter Hewan.”

“O..gitu ya dok.”

“Tapi ya sudahlah, akhirnya saya kuliah di Kedokteran dibiayai Ayah saya dan saya menjadi dokter dan mengobati putra Anda ini. Begitulah riwayatnya, Ibu” kata saya menjelaskan panjang lebar.

Bapak dan Ibu Sutikno lama terdiam.

Saya melanjutkan “Bung Karno pernah mengatakan Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Jadi silahkan saja bercita-cita  ingin menjadi apa. Kemudian mantan Wapres Pak Adam  Malik  pernah berkata Semua dapat diatur. Ingin jadi dokter boleh. Ingin jadi Ahli Komputer boleh. Lalu bernegosiasiah ( win-win solution ), dengan kasih dan keikhlasan maka semuanya  dapat tercapai dengan damai. Kalau seandainya mau-dua-duanya, bisa diatur. Setelah lulus sekolah Dokter, kemudian ambil Kursus Komputer, maka kedua ilmu itu dapat diraih juga bukan?

“Lalu apa kiatnya, dok “ kta Pak dan Ibu Sutikno.

Saya menjawab “Ada 2 hal yang penting di dunia ini, yaitu: Kemauan dan Kemampuan.”

“Maksud dokter bagaimana?” Ibu S bertanya lagi.

Saya menjelaskan “Kemauan saja ( cita-cita ), tidak cukup kalau tidak ada Kemampuan ( ilmu, biaya dll ). Jadi keduanya harus sinkron dimiliki.”

Pak Sutikno bertanya lagi “Kalau begitu yang paling penting yang mana,dok?”

Saya melanjutkan “Yang penting adalah adaya Kemaun. Bercita-cita ingi menjadi ini dan itu akan percuma saja kalau tidak ada kemauan ( niat ingsun, Jawa ). Kemampuan ( dana dll ) bisa diusahakan dapat berasal dari orang tua atau bea siswa yang dapat diperoleh kalau prestasi sekolahnya bagus. Ada orang yang puya cukup uang untuk membeli mobil bagus ( punya Kemampuan / uangnya ada  ), tetapi ia tidak dapat mengendarai mobil itu sebab ia tidak mau ( punya rasa takut dll ), tidak punya Kemauan. Ia harus punya Supir untuk mengendarai mobil bagus itu.”

“Hidup banyak pilihan, kita mau ambil yang mana?” saya menutup obrolan saat itu.

Bapak, Ibu dan putranya S  dapat memahami pendapat dan masukan dari  saya. Semoga mereka dapat memecahkan masalah mereka dengan aman dan damai.

Saat itu saya mendapat pengalaman satu lagi. Dapat memberikan jalan keluar untuk memecahkan masalah mencapai sebuah cita-cita.-

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.