Perkembangan menantang para praktisi dan akademisi ilmu perpustakaan untuk terus menata kepustakawanan Indonesia
(thinkstockphoto)
Isu keterbukaan akses literatur kepustakaan mendapat perhatian dari kalangan keilmuan selama satu dasawarsa ini. Inisiatif akses terbuka pada satu pihak menguntungkan peneliti, lembaga, dan masyarakat.
"Isu akses terbuka menjadi serius dengan kemunculan Web 2.0 atau Library 2.0 yang memberikan fasilitas interaksi antara pencipta dan pengguna informasi. Bagi peneliti, sistem ini meningkatkan keterbacaan, manfaat dan dampak bagi karya mereka," ujar Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim pada lokakarya nasional kepustakawanan bertajuk “Transformasi Kepustakawanan Indonesia dalam Era Akses Terbuka” di LIPI, Jakarta (5/9).
Kesadaran penerbit jurnal ilmiah Indonesia untuk menyediakan kemudahan akses untuk jurnal saat ini terus meningkat. Sekitar 40 jurnal Indonesia sekarang telah dapat diakses secara bebas melalui Directory Open Acces Journal (DOAJ).
Tapi di satu sisi perkembangan ini dapat memicu tingginya plagiarisme. "Akses terbuka memang memiliki banyak kelebihan, namun perlu diingat masih ada pertimbangan hak kekayaan intelektual (HaKI), kepengarangan, serta aspek etika. Anggota komunitas keilmuan perlu memiliki pengetahuan mengenai batas-batas penggunaan karya ilmiah agar dapat menghindari pelanggaran," tegas Lukman.
Perkembangan ini menantang para praktisi dan akademisi ilmu perpustakaan untuk terus menata dan membenahi kepustakawanan Indonesia pula.
Pustakawan Alih Peran
Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI Sri Hartinah mengatakan, penerapan akses terbuka pada jurnal perlu dukungan para pustakawan. Baik generasi senior (prateknologi) maupun muda (pascateknologi) untuk beralih peran sebagai penyedia informasi.
"Kita perlu menciptakan sinergi antargenerasi sehingga mempunyai cara pandang baru dalam memahami penggunaan dan pengelolaan informasi di era keterbukaan akses saat ini," tuturnya
Kaum muda (usia 15-39 tahun) saat ini atau generasi Y tergolong merupakan generasi digital naive. "Mereka lahir dan dibesarkan dalam era digital," kata Rosa Widyawan, salah seorang staf pelaksana PDII LIPI.
Ia menyebutkan ciri-ciri generasi Y antara lain individualis, terbuka, independen, bergerak (mobile), dan global. "Dengan keadaan saat ini terjadi friksi di perpustakaan, pustakawan yang rata-rata digital migrant masih gagap teknologi dalam memberikan pelayanan perpustakaan kepada generasi digital naive," ungkapnya.
Maka generasi digital naive yang rata-rata piawai dalam hal teknologi komunikasi dan komputer, cenderung memilih menggunakan internet sebagai pemasok informasi yang dibutuhkan oleh mereka.
Padahal menurut pengamatan Rosa, pustakawan memiliki keterampilan literasi informasi dan mesin pencari hanya sebagai "jendela" yang setelah itu perlu dianalisis, disintesis, dan menjadi informasi yang disajikan beretika.
Sementara Blasius Sudarsono, pustakawan senior di PDII, mengetengahkan bahwa profesi pustakawan di Indonesia akan berakhir bila tidak ada generasi muda yang tertarik menjadi pustakawan.
(Gloria Samantha)
Sumber
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.