PUNYA PENGALAMAN: Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, membersihkan fragmen tulang hasil penggalian Liang Bua di Hotel Sindha, Ruteng, NTT. Foto : Doan Widhiandono/Jawa Pos
Kepulauan Flores memang memikat. Alamnya elok, sejarahnya juga unik. Termasuk kehadiran homo floresiensis, manusia purba bertubuh kate (kerdil) yang dipercaya sebagai percabangan evolusi manusia. Liang Bua di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah rumah orang-orang pendek itu.
DOAN WIDHIANDONO, Ruteng
ISTILAH Hobbit itu kali pertama beken lewat trilogi The Lord of the Rings karangan John Ronald Reuel Tolkien. Hobbit kian mendunia saat epik tersebut diangkat ke layar lebar oleh sutradara kondang Peter Jackson pada 2001-2003.
Dikisahkan, para Hobbit adalah manusia kate setinggi rata-rata tiga kaki atau sekitar 1 meter. Mereka hidup berdampingan di Bumi Tengah (Middle Earth) bersama kaum Elf (peri), Dwarf (kurcaci), Wizards (penyihir), dan manusia. Selain pendek, para Hobbit punya telapak kaki lebar, rambut keriwil-keriwil, plus ujung telinga runcing.
Para Hobbit, makhluk yang selalu riang itu, mendiami kawasan The Shire. Itu adalah tempat indah dengan rumah-rumah pendek dengan warna hijau rumput.
Namun, Liang Bua bukan The Shire.... Liang Bua adalah sebuah gua kapur di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai. Tempat itu berada sekitar 14 kilometer di utara Ruteng, ibu kota Manggarai. Gua kapur itu begitu gede. Panjangnya sekitar 50 meter. Lebarnya 40 meter. Langit-langit tertingginya 25 meter. Plafon gua itu berhias stalaktit yang berjuntai-juntai.
Nah, Liang Bua (dalam bahasa Manggarai berarti gua dingin atau gua es) itulah yang dipercaya sebagai tempat tinggal Hobbit Flores, julukan homo floresiensis, lebih dari 10 ribu tahun lalu. "Saya ikut terlibat dalam penemuan pertama homo floresiensis itu," kata Jatmiko, peneliti utama di Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas).
Senin siang (10/9) itu Jatmiko bersama sekitar 40 warga mengais-ngais Liang Bua. Di antara mereka ada Matthew Tocheri, staf Smithsonian Institute National Museum of Natural History, Amerika Serikat. Ya, penggalian Liang Bua memang belum mandek. Setidaknya pada 1978-1989 dilanjutkan mulai 2001 hingga saat ini Arkenas terus berupaya menyingkap tabir kehidupan masa lalu di Liang Bua.
Sejauh ini temuan yang paling fenomenal -dari sisi kontroversi dan gaungnya- adalah Hobbit Flores yang ditemukan pada 2004. Pada tahun itu Arkenas bekerja sama dengan University of New England dan Wollongong University, keduanya dari Australia. Smithsonian Institute baru masuk sebagai bagian dari kerja sama tersebut pada 2008.
Menurut Jatmiko, kerangka pertama homo floresiensis relatif komplet. Tengkoraknya nyaris utuh. Tulang bahu, lengan, panggul, kaki, hingga jemarinya juga ada. Nah, tengkorak tua itulah yang menjadi pangkal kehebohan di jagat ilmiah hingga sekarang. "Sebab, LB 1 (sebutan resmi untuk kerangka itu, Red) menunjukkan sebuah karakter yang unik," ujar Jatmiko.
LB 1 adalah perempuan. Itu terlihat dari panggulnya yang besar. Usianya sekitar 20-30 tahun. Secara anatomi, ada kelainan fisik pada kerangka tersebut. Ukurannya begitu kecil. Tingginya hanya 115 sentimeter. Itu kira-kira setinggi panggul orang dewasa. Volume otak kerangka itu hanya 400 cc, sekitar sepertiga otak manusia modern, jauh lebih kecil katimbang otak simpanse.
Menurut Jatmiko, LB 1 yang akhirnya digolongkan dalam spesies homo floresiensis punya karakter serupa dengan Lucy, fosil manusia tertua berumur 3 juta tahun yang ditemukan di Ethiopia.
"Tapi, LB 1 juga punya karakter anatomis manusia modern. Ini yang menjadi kontroversi ahli palaeoantropologis di seluruh dunia sampai sekarang," ujar pria 55 tahun tersebut.
Sebagian ahli percaya bahwa homo floresiensis adalah spesies anyar di percabangan evolusi antara homo erectus (manusia yang pertama berjalan tegak) dengan homo sapiens atau manusia modern. Tapi, ilmuwan yang skeptis cenderung percaya bahwa kerangka kate itu bukan spesies baru. Bisa jadi itu kerangka manusia purba "bisa juga modern" yang mengalami kelainan fisik. Misalnya, cebol atau mikrosepali (volume kepala yang mengecil).
Namun, sebagai orang yang menemukan langsung kerangka tersebut, Jatmiko lebih condong ke pendapat bahwa tulang belulang manusia cebol itu adalah spesies anyar. Yaitu, homo floresiensis alias Hobbit Flores, spesies yang tak ada duanya di belahan dunia mana pun.
Jatmiko ingat betul, LB 1 ditemukan pada kedalaman 595 cm. Sebelum itu, tak ada satu ahli pun yang menggali hingga kedalaman itu. "Sebelum mencapai kedalaman itu, ada endapan abu vulkanik dengan ketebalan satu meter," tambah pria asli Jogjakarta tersebut.
Artinya, ada aktivitas vulkanik purba yang memisahkan era Hobbit Flores dengan manusia modern saat ini. Dengan kata lain, kata Jatmiko, kehidupan para Hobbit habis total karena ada letusan gunung api di era tersebut.
Di kedalaman 6 meter itu, LB 1 tak sendiri. "Kami juga menemukan individu lain," katanya. Jumlahnya enam. Tapi, tulang-tulang mereka tak komplet. Hanya ada fragmen-fragmen rahang, tulang jari, atau femur (tulang paha).
Bagi Jatmiko, ini mendukung teori bahwa Hobbit Flores bukanlah manusia cacat. Dia adalah spesies baru yang punya tata kehidupan khas di eranya. "Dia tidak menyendiri. Mereka punya tata kemasyarakatan dan aktivitas kehidupan lainnya. Sebab, di kedalaman itu kami juga menemukan ribuan artefak batu. Jadi, mereka bertani dan meramu seperti manusia modern," kata alumnus Universitas Udayana, Bali, dan Magister Universitas Indonesia, Jakarta, tersebut.
Berdasar temuan itu, tampak bahwa para Hobbit tinggal di zaman yang begitu "mengerikan". Sebab, mereka yang kate itu harus berjuang di tengah lingkungan yang juga ditinggali komodo raksasa, tikus raksasa, stegodon atau gajah cebol, hingga marabou atau bangau purba setinggi lebih dari 1,5 meter.
Sampai sekarang daya tarik homo floresiensis masih begitu kuat. Ahli-ahli kepurbakalaan di seluruh dunia masih terus memperbincangkannya.
Benarkah dia spesies baru atau hanya manusia cacat yang kebetulan kerangkanya ditemukan? Penelitian dan penggalian seperti yang dilakukan Arkenas pun terus berlangsung. Semua bertujuan menggali informasi soal keunikan spesies manusia cebol itu. Diskusi juga masih berlangsung soal apakah para Hobbit punah atau sempat beranak-pinak dan punya keturunan di era modern ini.
***
Magnet Liang Bua sebagai tempat penelitian terjadi sejak era 1960-an. Saat itu ada Pastur Theodore Verhoeven yang mengajar warga desa di Liang Bua. Lantaran tak ada fasilitas sekolah, pastur Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada, Flores, itu memanfaatkan Liang Bua sebagai ruang kelas.
Saat itulah rohaniwan yang juga arkeolog paro waktu itu tergugah rasa ingin tahunya. Sebab, dia menemukan banyak fragmen tulang manusia dan aneka gerabah. Pada 1965, di sela-sela mengajar, Pastur Verhoeven menggali salah satu bagian lantai Liang Bua. Temuannya cukup mengagetkan. Pada kedalaman kurang dari satu meter, dia menemukan tujuh kerangka manusia modern disertai bekal-bekal kubur berupa periuk, kendi, beliung, manik-manik, dan perunggu dari masa setelah zaman batu atau awal zaman logam.
Sejak saat itu Liang Bua kondang sebagai tempat kajian arkeologis yang menyimpan berlaksa daya tarik. Berdasar penelitian itu tampak bahwa Liang Bua dihuni manusia modern sejak 10 ribu tahun silam. Jauh sebelum itu, ada Hobbit yang menjadikan gua tersebut sebagai rumah."Sampai sekarang kami masih temukan jejak-jejak peradaban lampau itu," kata Jatmiko.
Bahkan, jejak aktivitas pada masa Pastur Verhoeven pun kadang masih muncul. Tim peneliti kerap menemukan grip dan sabak, batu tulis anak-anak sekolah sekitar delapan dekade silam. "Sehingga, Liang Bua ini sudah akrab dengan warga di sekitar sini, mulai warga purba hingga warga modern," katanya.
Kini, warga sekitar Liang Bua terus-menerus dilibatkan untuk membantu penelitian. "Saya berani jamin, warga di sini bisa disebut arkeolog. Saya berani adu mereka dengan arkeolog yang baru lulus perguruan tinggi. Warga ini lebih jago," kata Jatmiko.
Padahal, menggali situs penelitian tak sama dengan menggali kubur. Di Liang Bua, tanah digali 10 sentimeter demi 10 sentimeter pada petak berukuran 2 x 2 meter persegi. Tanah yang diangkat lalu dicuci untuk memisahkan fragmen tulang atau temuan lain. Setelah itu, tanah dikembalikan lagi ke tempat penggalian.
Warga pun tak hanya dilibatkan untuk menggali. Mereka juga bisa memilah, membersihkan, hingga melakukan perbaikan kecil terhadap fragmen-fragmen yang ditemukan. Misalnya, memberikan pengawet khusus atau mengelem bagian yang retak. "Kami memang sudah biasa memegang fosil. Ini fosil tulang telinga stegodon," kata Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, yang bertugas menyortir fosil sebelum dikirim ke Arkenas, Jakarta, sembari menunjukkan potongan tulang.
Warga Liang Bua, terutama yang masih muda, memang mendapat pujian secara khusus oleh Jatmiko. "Mereka smart dan mau belajar. Mereka juga bisa menjelaskan salah kaprah bahwa homo floresiensis punya keturunan sampai sekarang," kata Jatmiko.
Setiap Arkenas melakukan penelitian di Liang Bua "selama kurang lebih dua bulan tiap tahun" ada sekitar 40 warga yang dilibatkan. Mereka diberi honor Rp 45 ribu per hari per orang. Honor itu diterimakan tiap pekan. Selain honor, seluruh fasilitas ditanggung. Makan, kopi, hingga rokok yang diberikan sehari dua kali.
Meski sudah kondang sebagai tempat penelitian dan tempat wisata, suasana Liang Bua masih terasa sepi. Kalau saja tak ada aktivitas dari Arkenas siang itu, gua besar itu bisa jadi melompong. "Yang wisata memang tak banyak. Yang sering wisata minat khusus," kata Kornelis Jaman, penjaga situs wisata Liang Bua.
Padahal, niat menjadikan Liang Bua sebagai tempat rekreasi arkeologis sudah ada. Namun, niat itu tampak tak terlampau besar. Sekitar 200 meter sebelum Liang Bua ada gapura sederhana untuk menyambut pendatang. Kantor Kornelis Jaman sendiri juga menjelma sebagai sebuah tempat pameran mini.
Di situ ada gambar-gambar sejarah Liang Bua plus patung orang kerdil setinggi sekitar 100 cm. Ada pula potret binatang purba yang pernah mendiami kawasan tersebut. Cukup apik, sayang tak banyak yang tertarik.
Siang itu Kornelis mengajak saya ke Desa Rampasasa di dekat Liang Bua. "Di situ ada keturunan orang pendek," kata Kornelis.
Memang, di Rampasasa ada beberapa orang yang tingginya hanya sekitar 140 cm. Mereka kerap dikunjungi turis, diajak berfoto, plus dikasih duit.
Namun, ajakan Kornelis saya tolak. Saya bukannya condong ke pemikiran tim Arkenas bahwa homo floresiensis sudah punah dan ada tembok waktu dari aktivitas gunung purba yang memisahkannya dengan manusia modern. Tembok waktu yang membuatnya tak mungkin beranak-pinak hingga sekarang. Saya hanya tak tega melihat orang-orang yang kebetulan tubuhnya lebih pendek lantas "dituduh" begitu saja sebagai keturunan Hobbit... (*/c2/ari)
Sumber
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.