KOMPAS.com - Namanya es krim jamu. Kata terakhir yang disebutkan itu, seringkali malah menjadi alat orang tua menakuti anak kecil bandel yang susah diatur. Ada kesan yang tertanam jamu itu menakutkan hingga s ikecil tumbuh dewasa. Hal ini yang mendasari Retno Widati berupaya melestarikan jamu agar tidak punah dimakan zaman yang modern.
Ia hanya tidak ingin konsumen jamu punah hanya karena berganti generasi. Percuma ada banyak perajin dan penjual jamu sementara penikmatnya tidak ada. Ia sendiri sudah menjadi penikmat jamu sejak kecil. Penikmat yang berupaya melestarikan jamu dengan belajar membuatnya lalu berinovasi.
Ide ini mucul ketika dirinya kedapatan melihat seorang ibu penjual jamu gendong di pasar. Hingga pukul 12.00 siang, barang dagangnya masih banyak yang tersisia. Ia pun tertarik sekedar mengobrol dengan penjual tersebut. Dari hasil pembicaraannya, diketahui suami penjual jamu gendong tersebut adalah perajin es dungdung.
“Kemudian saya berpikir kenapa tidak dibuat saja dari jamu menjadi es krim. Kan jadi inovasi baru,” ungkap Retno.
Sempat terlintas di pikirannya, ini peluang bisnis yang cukup menarik. Apalagi dengan sekali proses pembuatan selama 15-20 menit, dapat menghasilkan minimal 50 cup es krim jamu. Satu cup es krim jamu bila dilempar ke pasar, Ia taksir harganya hampir sama dengan yang dijual di salah satu toko es krim biasa yang cukup tenar di Jalan Veteran, Jakarta.
“Untuk harga sendiri, saya pikir harganya bisa sejajar dengan es krim Ragusa. Satu cup itu bisa mencapai Rp 13.000. ” kata Retno kepada Kompas.com ditemui di tempat praktik terapinya di Jalan Kayu Manis Timur 8, Matraman, Jakarta.
Akan tapi, Ia menyadari, usaha terapi tradisional yang dijalaninya saat ini sudah cukup menyita waktu di hari tuanya. Apalagi, Retno berprinsip, hanya akan mau berbisnis yang 90 persennya bisa dilakukan seorang diri. Sementara membuat es krim tersebut butuh tenaga manusia yang lebih banyak.
Ia pun hanya ingin masyarakat dapat mempertimbangkan pentingnya kesadaran back to natural. Hidup sehat ‘kembali ke alam’ di samping mengonsumsi camilan berbahan tambahan kimia, baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
"Kalau ada yang mau mematenkan es krim jamu, Kami tidak menyalahkan. Justru malah merestui, sekalipun tidak kenal. Mau bikin workshop soal jamu es krim ini yah silahkan. Workshop di sekolah-sekolah internasional juga ada duitnya loh," ungkap pemilik hak paten beberapa obat herbal merek Jamu Honocoro dan menjadi rekanan salah satu perusahaan Jamu Jago ini.
Sekalipun ini inovasi yang keluar dari idenya, Ia pun tidak mau mengklaim bahwa jamu yang dijadikan es krim merupakan penemuannya. Mungkin saja, di daerah telah lebih dahulu menemukannya, namun tidak terekspos media.
Belajar gratis
Ia menegaskan, es krim jamu ini hanyalah bersifat hobi semata, yakni penikmat, pecinta, dan pelestari yang ketiganya itu tanpa adanya motif bisnis.
Dengan senang hati, Retno bantu secara ikhlas, bila ada masyarakat yang ingin belajar cara membuat es krim jamu. Sekalipun ada yang bermotif bisnis, namun tetap dibimbing caranya meracik rerempahan alamiah itu menjadi menjadi es krim jamu yang ngepop.
"Tidak dipungut biaya. Tinggal datang saja ke tempat terapi. Nanti saya ajari bagaimana mengolahnya. Saya senang kalau ada orang yang mau belajar caranya melestarikan jamu. Yang penting datang saja dulu," kata Retno.
Retno menjelaskan, sebenarnya cara membuat es krim jamu tidak terlalu sulit. Yang rumit dan malah berbahaya dikonsumsi, justru meracik rempah-rempah menjadi ramuan jamu.
Tapi, masyarakat tak perlu takut mencobanya. Mereka bisa bekerja sama dengan tukang jamu gendong yang telah piawai sebagai penyuplai ramuan jamu.
Caranya, ramuan jamu dicampur dengan tepung tapioka dan tepung hunkwe. Lalu pemanisnya bisa menggunakan madu, gula aren, gula jawa maupun gula tropicana. Dan terpenting ditambahkan kayu legi, sejenis kayu manis yang ampuh menetralkan pahitnya jamu.
Untuk pewarna sendiri, Retno tidak menyarankan pakai pewarna buatan maupun alami. Lebih baik menerima warna natural dari jamu itu sendiri, misalnya cokelat, putih abu-abu, dan kuning. Ini akan mencirikan warna keaslian dari jamunya sendiri.
Setelah bahan jadi satu, kemudian dimasukan ke dalam termos kecil khusus bikin es krim yang berbahan dasar aluminium. Tukang es krim potong menyebutnya ‘Termos Bos’ yang biasa dijual dengan harga Rp 100.000-an ukuran kecil atau cukup untuk 50 cup ukuran standar es krim jamu.
Lalu, termos kecil yang telah terisi dimasukan ke dalam termos bos besar. Bila tidak ada, bisa gunakan ember plastik yang harganya jauh lebih murah.
“Bos kecilnya itu dimasukan ke dalam bos besar. Baru lah bos besar diisi es batu dan garam kasar (Penggunaan garam agar tidak mudah mencair saat diputar). Lalu diputar-putar sekitar 15-20 menit-an hingga membeku. Walaupun membeku tapi empuk,” jelas Retno.
Berdasarkan nasihat dari apoteker rekanannya, Retno menjelaskan es krim jamu yang disimpan di dalam frezzer kulkas, ada baiknya tidak lebih dari 24 jam. Lewat dari itu, dikhawatirkan akan mengurang khasiat dari jamu sendiri. Maklum, es krim tersebut memang tidak pakai bahan pengawet.
Ia menjamin, khasiat memakan dinginnya es krim jamu ini seperti halnya meminum hangatnya jamu tradisional yang biasa ditemui di jalan.
"Untuk mencoba inovasi usaha es krim jamu ini dengan kemampuan industri rumahan minimal 50 cup itu, Saya pikir dananya minimal Rp 300.000-an. Itu sudah termasuk untuk termos bos kecil, ember plastik, batu es, garam, dan yang terpenting ramuan jamunya," ungkap Retno.
Sumber
Sumber
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.