Proses
pemeriksaan fisioterapi pada kasus Bell’s palsy dimulai dari anamnesis,
diikuti dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan gerak, kemampuan fungsional dan
pemeriksaan khusus.
1.
Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada kondisi Bell’s palsy ini menggunakan
metode autoanamnesis (dengan pasien sendiri) pada tanggal 20 Juni 2011.
Data-data yang terapis dapatkan sebagai berikut:
a.
Identitas
pasien
Data yang dioeroleh
adalah (1) nama : Ny Sutarti, (2) umur : 59 tahun, (3) agama : Islam, (4) pekerjaan : (5) alamat : Bekonang, Sukoharjo.
b.
Keluhan
utama
Keluhan utama yang
dirasakan pasien adalah adanya rasa tebal pada sisi wajah sebelah kiri
serta mulut pasien mencong kesisi kanan.
c.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh wajah sebelah kirinya tiba-tiba
terasa tebal-tebal dan
mulutnya mencong ke sisi kanan saat bangun
tidur sejak tanggal 25 April 2011. Pasien tidak mengetahui apa penyebabnya namun pasien
mengaku sehari sebelumnya kepala sebelak kiri terasa pusing dan belakang
telinga sebelah kiri terasa sakit. Pasien
kadang-kadang juga merasakan adanya nyeri di belakang telinga, terutama jika
terkena angin atau suhu dingin secara langsung dan nyeri tersebut akan
berkurang jika pasien berisirahat. Kemudian, pada tanggal 5 Mei 2011 pasien berobat ke RSU dr. Moewardi. Di sana pasien
akhirnya di rujuk untuk menjalani tindakan fisioterapi dua kali seminggu sampai sekarang dan telah
mendapat banyak kemajuan yaitu rasa tebal pada wajah sebelah kiri telah banyak
berkurang dan rasa sakit di belakang telinga sebelah kiri sudah tidak ada.
d.
Riwayat
penyakit dahulu
Pasien mengakui adanya riwayat hipertensi, namun
tidak ada riwayat stroke
dan DM, pasien juga mengaku sebelumnya belum pernah mengalami sakit seperti ini.
e.
Riwayat
penyakit penyerta
Penyakit yang
menyertai saat ini adalah hipertensi.
f.
Riwayat
pribadi
Pasien merupakan seorang ibu rumahtangga yang membantu anaknya membuat batu bata, di mana pasien
membantu dalam hal memindahkan batu bata yang baru dicetak ketempat pembakaran.
g.
Riwayat
keluarga
Pasien mengaku dalam keluarganya belum pernah ada yang mengalami sakit
seperti ini sebelumnya.
2.
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi: pemeriksaan tanda-tanda vital,
inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak, dan kemampuan fungsional.
a.
Tanda-tanda
vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang dilakukan meliputi (1) tekanan darah : 150/80 mmHg, (2)
denyut nadi : 66 x/menit, (3) pernafasan : 20
x/menit.
b.
Inspeksi
Inspeksi dilakukan pasien baik saat diam atau bergerak. Inspeksi diam
diketahui, wajah pasien tidak simetris, mulut tertarik atau mencong ke sisi kanan, mata kiri lebih banyak mengeluarkan air mata
dibanding mata kanan. Sedangkan untuk
inspeksi dinamis didapatkan hasil kerutan dahi tampak simetris, pasien mampu menutup
mata kirinya dengan rapat, saat bersiul mulut dapat menutup dengan rapat, saat
tersenyum mulut pasien tidak
simetris.
c.
Palpasi
Suhu wajah antara sisi kanan dan kiri sama dan secara
umum tidak terdapat peningkatkan suhu. Tonus otot-otot wajah sisi kiri
menurun atau sedikit berbeda dengan sisi kanan. Tidak ada spasme otot dan nyeri tekan pada daerah wajah dan prosesus sternocledomastoideus.
3.
Pemeriksaan
gerak
Pada pemeriksaan gerak aktif pasien
mampu melakukan gerakan seperti gerakan mengkerutkan dahi secara simetris,
gerakan menutup mata rapat, tersenyum tidak simetris, dan bersiul dengan rapa walaupun
dengan susah payah. Untuk gerak pasif saat gerakan menutup mata, mengkerutkan
dahi, bersiul, tersenyum dan mengkerutkan hidung dapat dilakukan dan
elastisitas otot masih dalam batas normal.
4.
Kemampuan fungsional
Pada pemeriksaan kemampuan fungsional dasar tampak bahwa saat mengkerutkan
dahi sudah simetris, untuk gerakan menutup mata dapat dilakukan dengan rapat, sedang untuk gerakan tersenyum belum simetris dan bersiul mampu menutup
walaupun dilakukan dengan
susah payah.
Aktivitas fungsional, aktivitas makan dan minum pasien tidak terganggu,
saat minum dan berkumur dapat
dilakukan dengan baik, tidak bocor walaupun dilakukan dengan susah payah, pada saat makan pasien dapat mengecap rasa dengan baik dan tidak mengumpul di sisi kiri
mulutnya.
Lingkungan aktivitas, setiap
harinya pasien melakukan pekerjaan rumahtangga, rumah pasien tidak menggunakan AC, saat tidur pasien
tidak menggunakan kipas angin.
5.
Pemeriksaan
khusus
a.
Pemeriksaan
kekuatan otot-otot wajah
Untuk menilai
kekuatan otot-otot wajah dapat digunakan skala Daniels and Worthingham’s
Muscle Testing, di mana hanya menggunakan 4 tingkatan, yaitu (1) nilai 0
(zero): tidak ada kontraksi, (2) nilai 1 (trace): kontraksi minimal, (3) nilai 3 (fair): ada
kontraksi, dilakukan dengan susah payah, (4) nilai 5 (normal): ada kontraksi
dan terkontrol. Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk melakukan gerakan
yang menggunakan otot-otot wajah, seperti mengkerutkan dahi, mendekatkan kedua
alis, menutup mata, menyergitkan hidung, tersenyum dan bersiul.
TABEL 3.1
HASIL PEMERIKSAAN
KEKUATAN OTOT-OTOT WAJAH
Nama otot
|
Kiri
|
Kanan
|
M. Frontalis
|
5
|
5
|
M.
Corrugator supercilli
|
3
|
5
|
M.
Orbicularis oculli
|
3
|
5
|
M. Nasalis
|
5
|
5
|
M.
Zigomaticum
|
3
|
5
|
M.
Orbicularis oris
|
3
|
5
|
b.
Pemeriksaan
kemampuan fungsional
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan skala Ugo fisch. Skala Ugo Fisch
menilai kondisi simetris dan asimetris antara wajah sisi sehat dengan sisi lesi
dalam 5 posisi yang berbeda yaitu diam, mengerutkan dahi, menutup mata,
tersenyum, dan bersiul. Ada 4 skala penilaian terhadap kondisi tersebut yaitu:
(1) 0%: asimetris komplit, tidak ada gerak volunter, (2) 30%: kesembuhan ke
arah asimetris, (3) 70%: kesembuhan parsial ke arah simetris, (4) 100%: normal
atau simetris komplit. Kemudian angka prosentase pada masing-masing posisi
harus diubah menjadi nilai dengan kriteria sebagai berikut: (1) diam: 20, (2)
mengerutkan dahi: 10, (3) menutup mata:
30, (4) tersenyum: 30, (5) bersiul:10.
TABEL 3.2
HASIL
PEMERIKSAAN FUNGSIONAL OTOT WAJAH
NO
|
Posisi
|
Nilai
|
1
|
Saat istirahat/Diam
|
70
% X 20 = 14
|
2
|
Mengerutkan dahi
|
100 % X 10
= 10
|
3
|
Menutup mata
|
70 % X 30 =
21
|
4
|
Tersenyum
|
70
% X 30 = 21
|
5
|
Bersiul
|
70% X 10 = 7
|
Jumlah
|
75
point
|
Dari hasil skala Ugo fich diketahui bahwa pasien
mengalami keterbatasan dalam batas sedang.
c. Tes
pengecapan
Pemeriksaan ini bertujuan untuk
memeriksa fungsi dari cabang-cabang saraf fasialis dengan cara pasien ditutup
matanya, kemudian diminta untuk menjulurkan lidah dan dilap dengan tisu atau cotton aplikator. Lalu diberikan rasa
manis pada ujung lidah, rasa asin dan asam pada pinggir lidah kemudian pasien diminta untuk menjukkan pada kertas
yang bertuliskan rasa manis, asam dan asin tentang apa yang dirasakan secara
berurutan (Widowati, 1993).
Bila
sensasi pengecap pada 2/3 anterior lidah menghilang maka menunjukkan topognosis
Bell’s palsy pada kanalis fasialis dan mengenai saraf korda timpani.
Karena keterbatasan alat, maka pada
pemeriksaan ini hanya dites untuk rasa manis, hasilnya pasien mampu mengecap dengan baik.
A.
Underlying
Proccess
C.
Diagnosa Fisioterapi
1. Impairment
Keterbatasan
fisik yang ditemukan pada pasien berupa (1) adanya rasa tebal-tebal pada wajah
sisi kiri,
(2) adanya penurunan kekuatan otot-otot wajah pada sisi kiri.
2.
Functional
limitation
Keterbatasan fungsi yang dirasakan oleh pasien adalah
adanya gangguan ekspresi pada wajah.
3.
Participation
restriction
Pasien mengaku kurang percaya diri dengan penyakit yang
diderita saat
bersosialisasi dengan tetangga dan orang-orang yang ditemuinya.
D. Tujuan Fisioterapi
Setelah
dilakukan analisa dari hasil pemeriksaan (umum dan khusus) dan didapatkan
permasalahan dari kasus ini yang telah disimpulkan dalam diagnosa fisioterapi,
maka ditetapkan tujuan yang akan dicapai, yaitu (1) meningkatkan kekuatan otot
wajah sisi kiri,
(2) mengurangi rasa tebal-tebal pada wajah sisi kiri, (3) meningkatkan kemampuan aktivitas
fungsional yang menggunakan otot wajah, seperti gerakan menutup mata, tersenyum,
bersiul dan ekspresi wajah, (4) meningkatkan kepercayaan diri pasien.
E.
Modalitas
yang Digunakan
Untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut, modalitas fisioterapi yang terapis gunakan adalah
1. Infra red
(IR)
Infra red atau sinar infra merah
adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang geloombang 7700-4 juta
Amstrong. Berdasarkan jenis generator
infra red dibagi menjadi dua jenis yaitu generator non luminous dan
luminous. Perbedaan kandungan sinar antara kedua generator dapat dijelaskan
sebagai berikut: (1) generator non luminous, yaitu generator yang dominan memancarkan sinar infra red
sehingga pengobatan menggunakan jenis ini sering disebut “infra red
radiation” dan (2) generator luminous, yaitu generator yang disamping
mengandung infra red, generator ini juga terdiri dari sinar ultra
violet, pengobatan dengan menggunakan generator jenis ini sering disebut
sebagai “radiant heating”. Sedangkan
berdasarkan panjang gelombangnya terbagi menjadi gelombang panjang (non penetrating) dengan
panjang gelombang 12.000 Amstrong – 150.000 Amstrong dengan daya penetrasi
hanya sampai lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm dan gelombang
pendek (penetrating) dengan panjang gelombang 7.700 Amstrong – 12.000 Amstrong
dengan daya penetrasi lebih dalam sampai jaringan subcutan dan dapat mempengaruhi pembuluh darah kapiler pembuluh
limpa dan ujung-ujung saraf, serta jaringan lain dibawah kulit.(Sujatno,
dkk,1991).
Efek-efek fisiologis
yang dihasilkan oleh IR secara umum antara lain (1) meningkatkan proses
metabolisme, (2) vasodilatasi pembuluh darah, (3) pigmentasi, (4) dapat
mempengaruhi urat saraf sensoris, (5) mempengaruhi jaringan otot, (6) dapat
menyebabkan destruksi jaringan, (7) menaikkan temperatur tubuh, (8) mengaktifkan
kerja kelenjar keringat.
Sedangkan efek terapeutik yang dihasilkan dari pemberian IR antara lain (1)
mengurangi atau menghilangkan nyeri, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan
suplai darah dan (4) menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Sujatno, dkk,
2002).
Pemberian
terapi panas menggunakan IR dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Persiapan alat
Persiapan
alat yang dilakukan meliputi jenis lampu (disini penulis menggunakan jenis non
luminous), kemudian terapis memeriksa kabelnya, setelah dapat dipastikan bahwa
lampu aman untuk digunakan kemudian terapis menyiapkan alat pengatur waktu
selama 15 menit, terakhir terapis menyiapkan handuk dan tisu yang akan
digunakan untuk menutup mata pasien.
b.
Persiapan pasien
Pasien diminta untuk tidur terlentang dengan senyaman
mungkin, kepala beralaskan bantal dengan wajah miring kearah sisi wajah yang
sehat (miring ke kanan).
Wajah yang akan diterapi dibersihkan terlebih dahulu. Pasien diberitahu tentang
manfaat terapi dan mengenai panas yang dirasakan, yaitu rasa hangat. Bila
ternyata ada rasa panas yang menyengat, pasien diminta segera memberitahu pada
terapis.
c.
Pelaksanaan terapi
Pertama-tama pasien diberikan tisu
untuk menutup mata dan menghindari mata dari sorot lampu, kemudian lampu
diposisikan tagak lurus dengan wajah sisi kiri, jarak diatur antara 45-60 cm,
alat pengatur waktu dipasang selama 15 menit, kemudian lampu dihidupkan.
2.
Stimulasi
elektrik
Stimulasi elektrik yang digunakan
pada kasus ini yaitu menggunakan arus faradik. Arus faradik adalah arus listrik
bolak-balik yang tidak simetris yang mempunyai durasi 0,01-1 ms dengan
frekuensi 50-100 cy/detik. Arus faradik pada umumnya dimodifikasi ke dalam
bentuk urged atau interupted (terputus-putus), (Clayton,
1981).
Efek fisiologis dari arus
faradik yaitu (1) sensoris, rasa tusuk halus, efek vasodilatasi dangkal, (2)
motorik, lebih mudah menimbulkan kontraksi karena durasi pendek, (3) efek
kimia, karena bentuk arus tidak simetris sehingga memungkinkan timbulnya efek
kimia. Sedangkan efek terapeutik yang diharapkan dari penggunaan arus faradik
untuk kasus ini yaitu (1) fasilitasi kontraksi otot melalui stimulasi serabut
saraf motoris, (2) mendidik kembali kerja otot melalui kontraksi yang
berulang-ulang, (3) melatih otot-otot yang mengalami kelemahan, (4) efek-efek
sekunder lain, metabolisme jaringan, serta kontrol gerak atau memperbaiki
perasaan gerak melalui propioseptor sebagai akibat gerakan yang berulang-ulang
(Kuntono, 2000).
Metode pelaksanaan terapi
arus faradik dapat dilakukan melalui metode stimulasi motor point. Keuntungan
menggunakan metode motor point ini bahwa masing-masing otot berkontraksi
sendiri-sendiri dan kontraksinya maksimal. Sedangkan kerugian metode ini
apabila otot yang dirangsang banyak, maka sulit untuk mendapatkan jumlah
kontraksi yang cukup untuk masing-masing otot. Dosis terapi yang dianjurkan
untuk stimulasi listrik pada otot adalah 30-90 kali kontraksi dengan istirahat
tiap 30 kontraksi otot untuk menghindari kelelahan otot, (Utami, 1992).
Tahap terapi menggunakan
stimulasi elektrik yaitu:
a.
Persiapan
alat
Terapis melakukan pengecekan
terhadap alat serta kelengkapanya. Dipastikan bahwa alat dalam keadaan baik,
kemudian pad yang akan digunakan dibasahi dengan air.
b.
Persiapan
pasien
Pasien diposisikan tidur telentang
dengan memakai bantal di atas kepalanya (posisi pasien senyaman mungkin).
Kemudian terapis memberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan
serta apa yang akan dirasakan oleh pasien.
c.
Pelaksanaan
terapi
Terapi dilakukan pada (1) posisi
pasien : tidur telentang, wajah sisi kanan dekat dengan terapis, (2) jenis arus
: faradik, (3) metode : motor point, satu elektode diletakkan di cervikal,
elektrode lainya di titik-titik motor point di wajah (4) frekuensi : 60 Hz, (5)
intensitas : rata-rata 1 mA atau sampai timbul kontraksi otot, (6) dosis : 30
kontraksi pada masing-masing titik, (7) waktu : 15 menit.
3.
Massage
Massage merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan pada jaringan lunak
tubuh dengan prosedur manual atau mekanik yang diberikan dengan tujuan
menghasilkan efek fisiologis dan terapeutik bagi tubuh (Rahim, 2002).
Pada kondisi Bell’s palsy otot-otot wajah pada umumnya terulur
kearah sisi yang sehat, keadaan ini dapat menyebabkan rasa kaku pada wajah sisi
yang sakit. Sehingga dengan pemberian massage
pada kasus Bell’s palsy bertujuan untuk merangsang reseptor sensorik dan
jaringan subkutaneus pada kulit sehingga memberikan efek rileksasi dan dapat
mengurangi rasa kaku pada wajah (Tappan, 1988).
Teknik-teknik massage yang biasa digunakan pada kasus Bell’s
palsy antara lain Stroking,
effleurage, finger kneading dan tapotement. Stroking adalah
manipulasi gosokan yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan
tangan yang bertujuan untuk meratakan pelicin keseluruh wajah pasien. Effleurage
adalah gerakan ringan yang berirama, yaitu melakukan gerakan ataupun gosokan
yang dilakukan dengan menggunakan tiga jari tangan diberikan sesuai letak
serabut otot-otot wajah menuju ke telinga. Finger kneading adalah
pijatan jari-jari tangan yang dilakukan dengan cara melingkar dan disertai
dengan tekanan pada kulit dan jaringan-jaringan lunak subkutan. Pijatan ini
diberikan pada seluruh otot-otot wajah dengan arah gerakan menuju ke telinga. Tapotement
adalah manipulasi dengan memberikan tepukan-tepukan yang berirama yang
dapat diberikan secara manual ataupun dengan menggunakan bantuan alat, pada
kasus Bell’s palsy salah satu teknik tapotement yang diberikan adalah slapping.
Slapping merupakan sapuan dari ujung-ujung jari yang dilakukan secara
tepat dan berirama (Tappan, 1988).
Efek-efek mekanis pemberian massage pada pasien Bell’s palsy
adanya tekanan yang diberikan secara melingkar pada kulit dan jaringan subkutan
dapat menimbulkan efek sebagai berikut:
membantu meningkatkan aliran darah dan dapat mencegah terjadinya
perlengketan jaringan (Rahim, 2002). Sedangkan efek-efek fisiologis massage
tersebut antara lain (1) memperbaiki kualitas kulit, (2) mempercepat proses
regenerasi sel, (3) meningkatkan aktivitas sirkulasi darah limfa dan (4)
mempengaruhi fungsi sekretor eksternal dan internal dari kulit. Namun dari
semua efek di atas, efek fisiologis terpenting yang bisa kita dapatkan dari
aplikasi massage pada kondisi Bell’s
palsy adalah bahwa massage secara perlahan atau gentle akan
mengaktifkan sirkulasi dan nutrisi dalam jaringan sehingga mempertahankan
fleksibilitas jaringan tersebut dan juga akan meningkatkan elastisistas
jaringan, selain itu pemberian massage
dengan menggunakan teknik slapping yang berirama cepat akan meningkatkan
tonus otot sehingga baik diberikan sebagai pre-liminary atau persiapan
sebelum melakukan terapi latihan (Rahim, 2002).
Pemberian massage
dengan berbagai teknik dilakukan dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai
berikut:
a. Persiapan alat
Dalam pelaksanaan massage
alat yang dibutuhkan hanya tisu dan pelicin berupa bedak.
b. Persiapan pasien
osisi pasien terlentang dengan kepala disangga bantal. Sebelum diterapi
wajah dibersihkan dengan tisu. Pasien diberi keterangan tentang teknik-teknik
terapi yang akan diaplikasikan serta manfaat dari pemberian massage.
c. Pelaksanaan terapi
Massage pertama-tama dilakukan dengan memberikan pelicin pada
wajah dengan menggunakan teknik stroking, kemudian pelicin diratakan dengan
teknik effleurage, dimana arahnya
sesuai dengan arah serabut otot yaitu sisi wajah yang sehat (kanan)
ditarik kearah telinga dari sisi wajah yang lesi (kiri),
dengan tekanan ringan. Setelah itu terapis memberikan finger kneading
pada wajah sisi yang sehat. Massage diakhiri dengan memberikan slapping
terutama pada wajah sisi lesi. Massage diberikan selama 10 menit.
Setelah selesai wajah pasien dibersihkan dengan tisu. Untuk pelaksanaan massage
dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3.1
Gambar (a), (b), (c) arah gerakan massage
(Tappan, 1988)
4. Terapi latihan dengan
menggunakan cermin (mirror exercise)
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang menggunakan cermin yang
pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan –gerakan pada wajah baik secara
aktif maupun pasif. Pada kondisi Bell’s palsy, latihan yang dilakukan di
depan cermin akan memberikan biofeedback, yang dimaksud dengan biofeedback adalah
disini adalah mekanisme kontrol suatu sistem biologis dengan memasukkan kembali
keluaran yang dihasilkan dari sistem biologis tersebut, dengan tujuan akhir
untuk memperoleh keluaran baru yang lebih menguntungkan sistem tersebut
(Widowati, 1993). Selain itu dengan latihan di depan cermin pasien dapat dengan
mudah mengontrol dan mengkoreksi gerakan yang dilakukan.
Latihan yang dapat diberikan pada pasien antara lain mengangkat alis,
mengkerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul.
Terapi dengan menggunakan cermin (mirror exercise)
membutuhkan partisipasi baik dari pasien maupun terapis. Pada saat inilah
merupakan waktu yang tepat untuk membangun motivasi dan kepercayaan diri
pasien. Tahap-tahap
pelaksanaannya meliputi:
a. Persiapan alat
Alat yang digunakan adalah cermin.
b. Persiapan pasien
Pasien di posisikan duduk di depan cermin, sedangkan
fisioterapis berdiri di samping pasien. Pasien diberikan keterangan mengenai
manfaat dari terapi ini.
c. Pelaksanaan terapi
Pertama-tama terapis memberikan contoh gerakan-gerakan
yang harus dilakukan oleh pasien kemudian pasien diminta untuk menirukan
gerakan-gerakan tersebut, terapis memperhatikan dan mengkoreksi apabila ada
gerakan yang keliru, terapi dilakukan selama 10 menit. Apabila pasien belum
bisa menggerakkan otot-ototnya maka terapis bisa membantu dengan cara pasif.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2
Bentuk-bentuk mirror exercise (Daniels and
Worthingham’s, 1986
5. Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien adalah (1)
pasien diminta untuk menghindari kipas angin secara langsung pada wajah, (2)
pasien dianjurkan untuk menggunakan tetes mata setelah seharian beraktivitas,
ini bertujuan untuk mencegah iritasi pada mata, (3) pasien dianjurkan untuk
memakai helm standar dan slayer jika bepergian ke luar rumah dengan menggunakan sepeda motor (4) pasien dianjurkan untuk mengompres pada wajah dan
telinga bagian belakang, dengan menggunakan handuk kecil dan air hangat
kemudian ditempelkan pada wajah sisi lesi dan daerah telinga belakang, selama
10 menit, (5) pasien dianjurkan untuk melakukan massage pada wajah
selama 10 menit, dengan arah dari wajah sisi kanan ditarik kearah telinga wajah
sisi kiri, dan dengan tekanan ringan, hal ini bertujuan agar tidak merusak
serabut otot pada wajah. (6) setelah di massage pasien dianjurkan untuk
melakukan latihan di depan cermin, dengan gerakan sama seperti yang telah
diajarkan oleh terapis.
- Rencana Evaluasi
Rencana evaluasi
yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari terapi yang
diberikan. Rencana evaluasi pada pasien Bell’s
palsy antara lain : (1) evaluasi kekuatan otot-otot wajah dengan MMT, (2)
evaluasi fungsi motoris otot-otot wajah dengan skala Ugo Fisch.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.