Friday, October 5, 2012

Suara-Suara yang Sirna (1 dari 2)

Satu bahasa punah setiap 14 hari. Sebelum abad berganti, hampir setengah dari sekitar 7.000 bahasa yang dipakai di bumi mungkin akan punah, karena masyarakat mengganti bahasa ibunya dengan bahasa Inggris, Mandarin, atau Spanyol. Apa yang hilang ketika suatu bahasa lenyap?

Oleh Russ Rymer
Foto Oleh Lynn Johnson

Bahasa Tuva 

WELAS ASIH
Khoj Özeeri

Suatu pagi di awal musim gugur Andrei Mongush dan kedua orang tuanya mulai melakukan persiapan untuk makan malam. Mereka memilih seekor piaraan, domba muka hitam berekor gemuk, lalu membaringkannya di atas terpal. Rumah keluarga Mongush terletak di taiga Siberia, di tepi hamparan stepa sejauh mata memandang, di balik cakrawala Kyzyl, Ibu Kota Republik Tuva, di Federasi Rusia. Mereka tinggal di dekat pusat geografis Asia, tetapi secara linguistik dan hubungan kemasyarakatan, keluarga ini hidup di pinggiran, tapal batas antara kemajuan dan kekolotan. Sejak dahulu suku Tuva hidup sebagai penggembala nomaden, membawa aal—kumpulan tenda yurt—beserta domba, sapi, dan rusa kutub mereka dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya. Kedua orang tua Andrei, yang kembali ke aal mereka di padang rumput setelah bekerja di kota, dapat berbicara bahasa Tuva dan Rusia. Andrei dan istrinya juga dapat berbicara bahasa Inggris. Mereka bekerja sebagai musisi di Orkestra Nasional Tuva, ansambel yang menggunakan melodi dan alat musik tradisional Tuva dalam aransemen simfoni. Andrei menguasai musik Tuva yang paling khas: nyanyian tenggorokan, atau khöömei.

Ketika saya menanyai mahasiswa di Kyzyl tentang kata Tuva yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Rusia, mereka mengusulkan khöömei dan khoj özeeri, cara orang Tuva menjagal domba. Jika penyembelihan ternak dapat dilihat sebagai bagian dari kedekatan manusia dengan hewan, khoj özeeri merupakan versi yang luar biasa akrab. Melalui sayatan di kulit domba, penyembelih memutus nadi penting dengan jarinya, sehingga hewan itu mati tanpa terkejut, demikian tenang. Dalam bahasa suku Tuva, khoj özeeri tidak hanya berarti menyembelih, tetapi juga welas asih, kemanusiaan, dan adab saat orang menjagal, hingga menggarami kulitnya, mengolah dagingnya, serta membuat sosis dengan darah.

Khoj özeeri menyiratkan hubungan dengan satwa yang mencerminkan sifat yang dimiliki suku ini. Hal ini seperti penjelasan seorang mahasiswa, “Jika orang Tuva membunuh binatang seperti yang dilakukan di tempat yang lain”—dengan pistol atau pisau—“dia akan ditangkap atas tuduhan kekejaman”.

Tuva merupakan salah satu bahasa kecil di dunia. Penduduk bumi yang tujuh miliar menggunakan sekitar 7.000 bahasa, setiap bahasa-hidup mendapat sejuta penutur, jika dibagi rata. Kenyataannya, tujuh puluh delapan persen populasi dunia menggunakan 85 bahasa terbesar, sementara 3.500 bahasa terkecil hanya dipakai oleh total 8,25 juta penutur. Jadi, sementara bahasa Inggris digunakan 328 juta orang sebagai bahasa utama, dan Mandarin 845 juta, penutur Tuva di Rusia hanya 235.000 orang. Ketika pergantian abad nanti, menurut ahli bahasa, hampir setengah dari bahasa di dunia saat ini mungkin punah. Lebih dari se­ribu yang digolongkan kritis atau sangat genting.

Di zaman yang kian mengglobal, terhubung, dan homogen ini, bahasa yang dipakai di tempat terpencil tidak lagi terlindung oleh batas negara atau batas alam dari bahasa yang mendominasi dunia komunikasi dan perdagangan. Jangkauan bahasa Mandarin, Inggris, Rusia, Hindi, Spanyol, dan Arab tampaknya meluas ke kampung-kampung, tempat bahasa ini bersaing dengan bahasa Tuva, Yanomami, dan Altai dalam pertempuran di setiap rumah. Orang tua di pedalaman sering mendorong anaknya supaya meninggalkan bahasa suku yang dipakai leluhur dan menggunakan bahasa yang dapat dipakai untuk meraih pendidikan dan kesuksesan yang lebih tinggi.

Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Saat ini semua bahasa yang memiliki stasiun televisi dan mata uang dapat melenyapkan bahasa yang tidak memilikinya. Jadi penduduk Tuva harus bisa berbicara bahasa Rusia dan Mandarin jika ingin berhubungan dengan dunia sekitarnya. Serbuan dominasi Rusia ke Tuva terlihat jelas dalam kemampuan berbahasa generasi Tuva yang dibesarkan pada pertengahan abad ke-20, saat tren berbicara, membaca, dan menulis bahasa Rusia mewabah.

Namun bahasa Tuva cukup sehat bila dibandingkan bahasa lain yang lebih rapuh, sebagian penuturnya tinggal seribu, atau sepuluh, atau bahkan satu orang. Bahasa seperti Wintu, bahasa asli di California, atau Siletz Dee-ni, di Oregon, atau Amurdak, logat Aborigin di Wilayah Utara Australia, hanya memiliki satu atau dua penutur fasih atau setengah fasih. Penutur terakhir yang tidak punya teman bicara pasti merasakan kesepian yang tidak terucapkan.

Untungnya, Tuva tak termasuk bahasa yang terancam punah di dunia. Sejak pecahnya Uni Soviet, bahasa ini mencapai kestabilan. Bahasa Tuva kini punya “tentara bersenjata lengkap”—belum ada stasiun televisi atau mata uang, tetapi punya surat kabar dan 264.000 penutur (beberapa di Mongolia dan Tiongkok). Sementara itu Tofa, bahasa Siberia di dekatnya, sekarang hanya digunakan oleh 30 penutur.

Arti penting bahasa Tuva bagi pemahaman kita tentang bahasa yang punah terletak pada perta­nyaan lain yang sulit dijawab para ahli linguistik: Apa yang membuat satu bahasa berkembang sementara yang lain menyusut atau punah?

Aka

Penghormatan terhadap Mucrow

Dengan hati pilu saya menyaksikan konsekuensi kehancuran bahasa di tengah suku Aka di Palizi, sebuah dusun kecil di lereng gunung di Arunachal Pradesh, negara bagian nan terjal di perbatasan utara India. Terpencilnya suku ini melahirkan swasembada radikal, terlihat dari ketiadaan kata Aka untuk pekerjaan, dalam arti kerja yang digaji.

Orang Aka mengukur kekayaan dengan mithan, sejenis lembu seladang Himalaya. Harta suku Aka yang dianggap paling berharga adalah kalung tradzy—setara dengan dua mithan—terbuat dari batu kuning dari sungai di dekat situ, yang diwariskan kepada anak-anak mereka. Batu kuning untuk kalung tradzy tidak lagi dapat ditemukan di sungai itu, jadi satu-satunya cara untuk memiliki kalung berharga ini adalah dengan mewarisinya.

“Saya memandang dunia melalui sudut pandang bahasa ini,” kata Pastor Vijay D’Souza, yang mengelola sekolah Yesuit di Palizi. Serikat Yesuit mendirikan sekolah itu karena mengkhawatirkan kerapuhan bahasa dan budaya Aka dan ingin mendukungnya (meskipun menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah). D’Souza berasal dari selatan India, dan bahasa ibunya Konkani. Ketika dia datang ke Palizi pada 1999 dan mulai berbicara bahasa Aka, bahasa itu mengubahnya.

“Bahasa ini mengubah pola pikir dan pandangan kita,” katanya kepada saya suatu hari di kantor kepala sekolah. Satu contoh kecil: mucrow. Kata itu dalam bahasa ibu D’Souza merupakan penghinaan, artinya “gaek”. Dalam bahasa Aka, “mucrow” memiliki arti yang lebih luas. Itu panggilan yang menunjukkan rasa hormat, segan, sayang. Orang Aka dapat menyebut seorang wanita dengan mucrow untuk menunjukkan kebijaksanaan wanita itu dalam urusan kemasyarakatan. Kata D’Souza, “Seorang istri suku Aka memanggil suaminya mucrow, sekalipun sang suami masih muda,” dan mengucapkannya dengan rasa sayang.

Ahli bahasa dari Amerika David Harrison dan Greg Anderson datang ke Arunachal Pradesh untuk meneliti bahasanya sejak 2008. Mereka merupakan anggota Proyek Enduring Voices National Geographic. Beberapa kelompok linguis di seluruh dunia terlibat dalam penelitian bahasa yang terancam punah. Ada peneliti yang memiliki afiliasi akademik dan institusi, sementara yang lain mungkin bekerja untuk masyarakat Alkitab yang me­nerjemahkan Injil ke ber­bagai bahasa baru. Para penelitinya mungkin memiliki tujuan yang terpisah—untuk mengabadikan tata bahasa dan kosakata suatu bahasa sebelum sirna atau terkontaminasi—atau mung­kin juga intervensionis, untuk mem­bangun sistem tulisan bagi bahasa lisan, menyusun kamus, dan mengajari penutur asli untuk menulis.

Sumber 1, Sumber 2 dan Sumber 3

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.