Friday, October 5, 2012

Suara-Suara yang Sirna (2 dari 2)

Satu bahasa punah setiap 14 hari. Sebelum abad berganti, hampir setengah dari sekitar 7.000 bahasa yang dipakai di bumi mungkin akan punah, karena masyarakat mengganti bahasa ibunya dengan bahasa Inggris, Mandarin, atau Spanyol. Apa yang hilang ketika suatu bahasa lenyap?

Oleh Russ Rymer
Foto Oleh Lynn Johnson

Ahli bahasa telah mengidentifikasi banyak titik-utama bahasa yang tinggi tingkat keanekaragaman linguistik dan jumlah bahasa yang terancamnya (lihat peta, halaman 90-91). Banyak dari tempat ini yang merupakan tempat yang paling sulit didatangi di dunia, dan biasanya alamnya juga paling keras—seperti Arunachal Pradesh. Aka dan bahasa sekitarnya terlindung karena Arunachal Pradesh merupakan wilayah tertutup bagi orang luar. Jadi budaya mikronya yang rapuh terhindar dari arus tenaga kerja imigran, modernisasi.

Kehidupan kemasyarakatan di Palizi diatur melalui cerita mite dan legenda yang berisi pelajaran akhlak. Kisah-kisah semacam ini diceritakan oleh para tetua dalam bahasa Aka yang sangat formal sehingga orang muda tidak memahaminya. Di daerah terpencil sekalipun, anak muda semakin meninggalkan bahasa ibunya akibat bahasa Hindi di televisi dan bahasa Inggris di sekolah. Sekarang jumlah penutur Aka kurang dari 2.000, termasuk dalam daftar bahasa yang terancam punah.

Suatu malam di Palizi, saya bersama Harrison, Anderson, dan seorang ahli bahasa India duduk bersila mengelilingi tungku di rumah Pario Nimasow, guru berusia 25 tahun di sekolah Yesuit itu. Setelah makan malam Nimasow menghilang sejenak dan kembali membawa bungkusan katun putih kotor. Di dalamnya ada beberapa azimat: rahang harimau, rahang sanca, rahang-bawah ikan sungai bergigi tajam, kristal kuarsa, dan barang lain yang biasa dimiliki dukun. Buntalan ini milik ayah Nimasow sampai dia meninggal pada 1991. “Bapak saya pendeta,” kata Nimasow. Dan sekarang? tanya saya. Apakah dia akan meneruskan tradisi itu? Nimasow menatap azimat itu dan menggeleng. Dia mewarisi peralatan, tetapi dia tidak tahu mantranya; ayahnya meninggal sebelum mengajarinya. Tanpa kata-kata, daya magis pepunden tersebut tidak bisa dikeluarkan.

Harrison mengingatkan kepada saya bahwa sekitar 85 per­sen bahasa di dunia belum terdokumentasikan. Pengetahuan itu dapat memperkaya pemahaman kita tentang sifat universal semua bahasa.

Setiap bahasa menyoroti pengalaman manusia yang berbeda, mengungkapkan berbagai aspek kehidupan yang cenderung kita anggap tetap dan universal, seperti pemahaman kita tentang waktu, jumlah, atau warna. Dalam bahasa Tuva, misalnya, masa lalu selalu disebut sebagai di depan, dan masa depan berada di belakang. “Kami tidak bisa berkata, ‘Ke depan, saya akan melakukan sesuatu,’” kata seorang Tuva kepada saya. Malah, dia berkata, “Ke belakang, saya akan melakukan sesuatu.” Sangat masuk akal jika kita memikirkannya dengan cara Tuva: Jika masa depan berada di hadapan kita, bukankah dapat kita lihat dengan jelas?

Jika bahasa Aka, atau bahasa apa pun, digantikan dengan bahasa baru yang lebih berguna secara universal, kematian bahasa itu dapat mengguncang fondasi suku. “Bahasa Aka merupakan identitas kami,” kata seorang penduduk desa. “Tanpa itu, apa bedanya kami de­ngan suku lainnya?” Namun, haruskah seluruh dunia juga turut berduka? Sulit mengajukan pertanyaan ini dalam bahasa Aka, yang tampaknya tidak memiliki satu kata pun untuk dunia. Namun, orang Aka mungkin mengajukan jawaban, yang terejawan­tah dalam konsep mucrow. Konsep tentang penghargaan terhadap tradisi, pengetahuan turun-temurun, keyakinan bahwa orang tua nan lemah punya se­suatu yang dapat diajarkan kepada pemuda yang kelak memandu hidup generasi selanjutnya.

Seri

Kearifan Hant Iiha Cöhacomxoj

Hancurnya keanekaragaman hayati dunia yang sedang terjadi merupakan metafora yang tepat bagi krisis kepunahan bahasa. Lenyapnya suatu bahasa berarti lenyap pula pengetahuan yang sama berharganya dengan obat ajaib masa depan yang mungkin raib ketika ada spesies yang punah. Bahasa kecil, melebihi bahasa besar, menyimpan kunci untuk membuka rahasia alam, karena penuturnya cenderung hidup a­krab dengan tanaman dan hewan di sekitar mereka, dan pembicaraan mereka mencerminkan pengamatan tersebut. Ketika komunitas kecil me­ninggalkan bahasanya dan beralih menggunakan bahasa Inggris atau Spanyol, ba­nyak kekayaan tradisi yang tidak terwariskan ke generasi selanjutnya—mengenai tanaman obat, budi daya tanaman pangan, teknik irigasi, sistem navigasi, kalender musiman.

Suku Seri di Meksiko adalah kaum seminomaden yang berburu dan meramu di Gurun Sonora barat dekat Teluk California. Kelangsungan hidup mereka bergantung sifat dan perilaku spesies yang hidup di gurun dan laut itu. Keakraban dengan dunia tanaman dan hewan merupakan ciri khas kehidupan suku Seri dan bahasa mereka, Cmiique Iitom.

Biasanya suku Seri, yang menyebut diri mereka Comcaac, tidak memiliki tempat tinggal tetap, sehingga keberadaan mereka bergantung kepada bagian gurun yang menyediakan pangan paling banyak. Kini mereka tinggal di dua permukiman, Punta Chueca dan El Desemboque, masing-masing sekumpulan kecil rumah batako di tengah gurun merah luas di tepi teluk. Rumah-rumah itu dikelilingi oleh kaktus ocotillo berduri.

Setiap hari Armando Torres Cubillas duduk di sudut studio terbuka di tepi pantai di El Desemboque, bersimpuh di tanah berpasir dengan kakinya yang lumpuh. Sesekali dia memandang teluk dan mengiringi kegiatan seni itu dengan lagu taijitiquiixaz tentang percakapan antara kerang pantai kecil dan undur-undur laut atau yutuk. Liriknya khas suku Seri: karunia alam, dan diwarnai dengan nada sendu.

Ketika ahli bahasa dari Amerika Edward Moser dan Maria Beck Moser datang untuk tinggal bersama suku Seri pada 1951 di El Desemboque, nasib suku ini sedang nahas—wabah campak dan influenza menurunkan jumlahnya menjadi sekitar dua ratus orang.

Maria Moser bekerja sebagai perawat dan bidan bagi suku itu. Setelah membidani banyak kelahiran, sesuai adat, keluarga bayi memberinya sepotong tali pusar bayinya yang sudah dikeringkan, yang disimpan Mary di dalam “botol pusar”. Mereka juga memberinya kepangan panjang dari delapan ikat rambut, jati diri Indian. Para pria Indian merasa harus memotongnya saat pergi ke kota-kota Meksiko. Kepangan itu seperti tali pusar budaya, hubungan yang terputus antara yang lama dan yang baru.

Pasangan Moser memiliki seorang putri, Cathy, yang tumbuh di tengah suku Seri di El Desemboque dan menjadi seniman grafis dan ahli etnografi. Dia dan suaminya, Steve Marlett, melanjutkan penelitian pasangan Moser tentang bahasa Seri. Sekarang komunitas ini telah pulih menjadi antara 650-1.000 penutur. Mereka berhasil mempertahankan bahasa me­reka, sebagian berkat permusuhan terhadap budaya mayoritas yang ada di Meksiko. Pada 1773 mereka membunuh misionaris Katolik. Vatikan tidak melanjutkan upaya itu sehingga suku Seri tidak pernah dikatolikkan.

Kemewahan modern milik suku Seri diimpor tanpa disertai nama Spanyolnya. Mobil, misalnya, telah memicu banjir kata baru. Peredam knalpot mobil Seri disebut ihíisaxim an hant yaait, atau “pernapasan turun ke dalamnya”, sementara istilah Seri untuk tutup busi dikaitkan dengan ikan pari listrik yang berenang di Teluk California yang bisa menyetrum. Ibarat tanaman ocotillo yang terpancang di pasir: Leksikon Iitom Cmiique masih hidup, dan seiring pertumbuhannya, bahasa itu menciptakan pagar hidup di sekeliling budayanya.

René Montano bercerita tentang hant iiha cöhacomxoj, orang yang telah diberi tahu tentang pusaka bumi, semua hal kuno. “Diberi tahu” disertai dengan perintah: Turunkan pe­ngetahuan itu. Berkat itu, kita semua menjadi ahli waris pengetahuan yang diabadikan dalam bahasa Cmiique Iitom. Peribahasa rakyat dan bahkan kata-kata mengabadikan pengamatan mendalam berabad-abad terhadap spesies yang baru mulai dipelajari para ilmuwan-tamu pada beberapa dasawarsa terakhir.

Para ahli menggolongkan bahasa Seri sebagai bahasa isolat, tetapi mungkin istilah yang lebih tepat adalah “satu-satunya yang selamat”. “Suku Seri merupakan pintu masuk ke dunia suku teluk yang hilang,” kata Steve Marlett. “Banyak suku lain yang sudah punah,” katanya, dan sa­yangnya, punah sebelum didokumentasikan.

Salah satu cara melestarikan bahasa adalah mengabadikannya dalam tulisan dan menyusun kamus. David Harrison dan Greg Anderson menyusun kamus Tuva-Inggris pertama dan bangga melihat gairah penutur asli terhadap buku itu. Steve dan Cathy Marlett bekerja sampai pada 2005 menyelesaikan kamus Cmiique Iitom yang diawali oleh kedua orang tua Cathy pada 1951.

Pengumpulan kosakata, lafal, dan sintaksis yang dilakukan ahli bahasa lapangan di tempat-tempat terpencil membantu menjaga bahasa tetap hidup. Namun, penyelamatan bahasa tidak dapat dilakukan oleh ahli bahasa, karena keselamatan harus berasal dari dalam.

Jawabannya mungkin terletak pada apa yang disaksikan Harrison dan Anderson di Palizi, ketika seorang warga desa berusia 20-an tahun datang bersama temannya untuk bernyanyi. Kedua ahli bahasa itu cukup terkejut ketika kedua pemuda menyanyikan lagu rap bergaya L.A. tulen. Mereka lengkap dengan gerakan tangan geng, anggukan kepala, dan gayanya, penampilan seni jalanan Amerika yang sempurna, dengan satu penyesuaian: Mereka menyanyi rap berbahasa Aka.

Apakah para ahli bahasa kecewa? Saya bertanya. Sebaliknya, Harrison mengatakan. “Anak-anak ini fasih berbahasa Hindi dan Inggris, tetapi mereka memilih bernyanyi rap dalam bahasa yang hanya digunakan oleh beberapa ribu orang.” Kooptasi dan penyerapan bahasa dapat terjadi dua arah, dan bahasa kecil kadang berperan sebagai penjajah. “Satu hal yang diperlukan untuk kebangkitan bahasa,” kata Pastor D’Souza, “adalah kebanggaan”.

Saat terlibat soal bahasa yang kian pupus, se­kalipun hanya sebagai wartawan, kami juga mau tak mau merenungkan rapuhnya kehidupan suku tradisional. Sejak kunjungan saya selama dua tahun terakhir ke Palizi; Pario Nimasow muda, yang memperlihatkan isi bungkusan azi­­mat ayahnya kepada saya, tewas akibat tanah longsor. Seminggu usai saya menulis paragraf tentang nyanyian Armando Torres, saya menerima surel dari Cathy Marlett. “Berita duka,” demikian judulnya. Torres wafat karena serangan jantung pada usia 67 tahun.

Kefanaan mereka mengingatkan kita tentang kefanaan budaya mereka. Sebuah pengingat bahwa dengan kematian setiap penutur, terputus pula satu lagi nadi penting.

Sejumlah hal yang menghalangi kemung­kinan pu­pus­­­nya bahasa milik mereka adalah keteguhan yang disertai rasa bangga, rasa hor­mat kepada para pen­da­hulu, kesadaran bahwa kunci masa depan ada di belakang kita. Itu, dan bahwa keyakinan te­guh, bahasa dengan penutur paling sedikit pun ma­sih menyimpan banyak hal yang dapat disampaikan.

Sumber 4, Sumber 5 dan Sumber 6

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.