Friday, October 5, 2012

Sengketa Nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly dan Paracel Ungkap Konflik yang Lebih Dalam

Personel angkatan laut Vietnam berpatroli di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Banyak negara di kawasan itu menyatakan klaim atas laut dan kepulauan-kepulauan tersebut. Klaim ini tercermin dari penggunaan nama yang berbeda-beda untuk menyebut laut dan kepulauan itu. [Reuters]

Sengketa berkelanjutan mengenai hak teritorial atas Kepulauan Spratly dan Paracel, Bantaran Sungai Macclesfield, dan Karang Scarborough antara Republik Rakyat Cina, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan telah berkembang menjadi sengketa nama untuk Laut Cina Selatan.

Negara-negara di kawasan itu telah memberi nama yang berbeda-beda untuk laut tersebut selama sejarah navigasi dan perdagangan yang panjang di daerah itu. Dalam bahasa Inggris, laut tersebut selalu disebut sebagai Laut Cina Selatan, atau persamaannya dalam kebanyakan bahasa Eropa.

Orang Eropa pertama yang melayari dan memberi nama untuk kawasan tersebut adalah marinir Portugis yang menamakannya Laut Cina, atau Mar da China. Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut Cina Selatan. Sekarang, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya Laut Cina Selatan atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam bahasa Cina.

Nama laut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu

Nama yang diberikan oleh Cina untuk laut tersebut bisa ditelusuri hingga 2.000 tahun yang lalu pada zaman Dinasti Han, yang satu zaman dengan Republik Romawi dan Kerajaan Romawi. Laut tersebut dinamakan Zhang Hai, atau Laut Busung, dan seribu tahun kemudian menjadi Laut Bergolak di bawah zaman pemisahan antara Dinasti Utara dan Selatan. Nama Nan Hai yang sekarang ini telah digunakan selama lebih dari 300 tahun sejak awal era Dinasti Qing [Manchu].

Meskipun demikian, setidaknya semenjak 500 tahun yang lalu, dan bahkan mungkin lebih lama, penduduk Asia Tenggara sering menyebutnya sebagai Laut Champa atau Laut Cham, menamakannya seperti kerajaan maritim Champa yang terletak di bagian selatan dan tengah Vietnam sampai ke Kamboja sejak abad ke-7 sampai tahun 1832.

Ketika Jepang menjajah Indocina pada tahun 1941, laut tersebut dinamakan laut Minami Shina Kai atau Laut Cina Selatan. Dan Jepang masih menggunakan nama itu sampai sekarang.

Nelayan Filipina melambaikan tangan mereka dari sebuah kapal ikan yang siap menangkap ikan di dekat Karang Scarborough di Masinloc, Zambales. Masinloc adalah pulau terdekat, sekitar 128 mil laut dari Karang Scarborough yang disengketakan. [Reuters]

Bagi bangsa-bangsa modern yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, Filipina, dan Malaysia, laut tersebut disebut sebagai Laut Cina Selatan dalam bahasa lokal mereka -- Dagat Timog Tsina dalam bahasa Tagalog di Filipina dan Laut China Selatan dalam bahasa Melayu. Orang Filipina menyebut bagian yang terletak di dalam laut teritorialnya sebagai Laut Luzon atau Dagat Luzon.

Namun, ketika sengketa antara Filipina dan Cina atas klaim yang bertentangan atas Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah Filipina mulai menyebut seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Filipina Barat. Layanan Administrasi Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Filipina [PAGASA] bersikukuh pada posisi bahwa kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Filipina.

Pulau-pulau kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama yang bertentangan, dengan klaim kedaulatan pelik yang bertentangan atas mereka yang sudah terjadi selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai kepulauan Spratly. Cina menyebutnya Kepulauan Nansha.

Filipina menyebut Karang Scarborough sebagai Beting Panatag, Bajo de Masinlóc atau Karburo. Cina telah menamakannya sebagai Kepulauan Huangyan sejak tahun 1983. Pada tahun 1947, pemerintah Kuomintang dari Republik Cina menyatakan kedaulatan atas karang tersebut dan menamakannya Minzhu Jiao atau Karang Demokrasi. Nama Baratnya berasal dari kapal dagang Scarborough milik Perusahaan Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa ada yang selamat setelah menabrak karang tersebut pada tahun 1784.

Filipina berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23 kaki [8,3 meter] di sana pada tahun 1965.

Para astronom mengunjungi Karang Scarborough pada tahun 1279

Meskipun demikian, Cina bersikukuh bahwa klaimnya atas karang tersebut sudah ada sejak tahun 1279 ketika astronom Guo Shoujing mengunjungi situs tersebut selama Dinasti Yuan.
Cina memberi nama kepada kumpulan pulau-pulau yang berbeda di Laut Cina Selatan menurut lokasi mereka yang dibagi menjadi empat: Kepulauan Paracel adalah Kepulauan Xisha atau Pantai [atau Pasir] Barat; Kepulauan Spratly disebut Nansha atau Pantai Selatan; pulau-pulau lain dinamakan Dongsha, dikenal juga dengan nama Prata. Bantaran Sungai Macclesfield dinamakan Kepulauan Zhongha, atau Pantai [atau Pasir] Tengah. Cina telah menyatakan kedaulatan atasnya sejak tahun 1935. Klaim awal oleh pemerintah Kuomintang Jiang Jieshi [Chiang Kai-shek] telah dipertahankan oleh Republik Rakyat Cina.

Nama Paracel bisa ditelusuri hingga 400 tahun yang lalu pada masa pedagang Portugis pada akhir abad ke-16. Namun Cina menyebutnya kepulauan Wanglishitang, atau Sepuluh Ribu Mil Kolam Berbatu pada masa Dinasti Yuan, 750 tahun yang lalu. Nama kepulauan ini juga digunakan oleh para pelayar dan penjelajah Cina yang terkenal, Zheng He di dalam petanya pada tahun 1430 pada masa Dinasti Ming.

Vietnam juga menyatakan klain atas laut

Vietnam juga memiliki kumpulan nama untuk wilayah kecil di Laut Cina Selatan tersebut. Perancis menyatakan klaim atas kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun 1887 dan menegaskan kembali klaim mereka pada tahun 1933. Orang Vietnam telah menyebut kepulauan tersebut dengan Hoang Sa, atau Pasir Kuning sejak abad ke-15. Di dalam bahasa Vietnam modern, nama tersebut dieja Hoàng Sa atau Cát Vàng. Nama-nama tersebut memiliki makna yang sama, yaitu Pasir Kuning atau Beting Kuning. Di bawah Kaisar Vietnam Minh Mang [1820-1841] pada abad ke-19, kepulauan Spratly disebut sebagai Vạn LýTruong Sa, atau Beting Sepuluh Ribu Liga.

Untuk menambah persoalan, pada paruh pertama abad ke-19, Cina dan Vietnam menyatakan klaim atas kepulauan Spratly dan Paracel secara bersamaan tetapi tidak menyadari bahwa masing-masing melakukan hal yang sama. Pada bulan Juli 2012, Majelis Nasional Vietnam menyetujui undang-undang yang memperluas perbatasan laut negara tersebut dengan memasukkan rangkaian kepulauan Spratly dan Paracel ke dalamnya.

Kapten Angkatan Laut Inggris James George Meads menyatakan klaimnya sendiri atas kepulauan tersebut pada tahun 1870-an dan memproklamasikan negaranya sendiri Morac-Songhrati-Meads atasnya. Menambah sedikit kelegaan terhadap perseteruan yang rumit dan tegang atas kedua kepulauan sekarang, keturunan Meads terus berusaha menyatakan klaim atas kuasa dan kepemilikan mereka atas kedua kepulauan tersebut. Klaim mereka juga mencakup potensi cadangan minyak, gas, dan mineral berharga di bawah dasar laut di sekitarnya yang mencakup radius sepanjang 200 mil.
Bahkan Jepang juga sempat terllibat dalam pemindahan klaim atas kepulauan Paracel. Jepang menjajah rangkaian pulau tersebut pada tahun 1939 dan sampai tahun 1945 menyebutnya sebagai Shinnan Shoto, atau Kepulauan Baru Selatan. Di dalam Traktat Perdamaian San Fransisco pada tahun 1951 pada akhir masa penjajahan AS, Jepang mencabut semua klaim atas Spratly, Paracel, dan pulau-pulau lain di Laut Cina Selatan. Cina kemudian mengulang kembali klaim kedaulatan sebelumnya atas pulau-pulau tersebut.

Republik Cina yang dikuasai oleh pemerintah Kuomintang untuk waktu yang singkat menjajah kepulauan Spratly dan Paracel dari tahun 1945 sampai 1949, tetapi meninggalkan sebagian besar ketika merelokasi ke Taiwan setelah kemenangan komunis pada tahun 1949 dalam Perang Sipil Cina. Republik Cina menarik sisa pasukannya dari Pulau Taiping pada tahun 1950, tetapi mengirim mereka kembali pada tahun 1965.

Sengketa atas pulau-pulau tersebut, terutama antara Cina dan Filipina dan Vietnam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda karena sejarah yang panjang dan rumit mengenai klaim dan klaim balasan teritorial atas wilayah laut. Sengketa ini akan terus berlanjut -- dan kemungkinan akan meningkat -- kecuali jika bangsa-bangsa yang bersengketa ini bekerja sama secara kolaboratif dan diplomatis untuk menyelesaikan klaim tanpa paksaan, intimidasi, atau penggunaan kekuatan -- contohnya menyetujui "Kode Etik" yang disponsor oleh ASEAN. Semua partai harus memperjelas dan melanjutkan klaim teritorial dan maritim mereka sesuai dengan hukum internasional, seperti yang disebutkan dalam Konvensi PBB untuk Hukum Laut [UNCLOS]. Situasi yang sangat mudah berubah ini tidak akan terselesaikan kecuali jika semua pihak menjelajah setiap kesempatan diplomatis untuk mencapai sebuah penyelesaian, termasuk penggunaan arbitrasi atau hukum internasional.

Sumber

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.